Halaman

2 Mar 2014

Laknat Ikhlas

Sambungan yang kemaren…

Saya, kami dan semua yang melakukan operasi buru durian tersebut adalah juga korban dari operasi itu juga. Rata-rata pelakunya juga punya pohon durian sendiri. Alasan kenapa kami suka melakukannya sudah saya beberkan di post sebelumnya. Saya sebut ini budaya karena memang hampir semua suka melakukannya. Dan, meski ada yang tertangkap basah, toh belum pernah ada yang sampai berurusan dengan polisi, apalagi sampai ke pengadilan dan penjara. Sebab, itulah, karena pelaku dan korban sama-sama saling memaklumi satu sama lainnya. Begitu terdengat bunyi durian si Anu berdebum, si Benu langsung berlarian memburunya, meski dia juga punya pohon durian sendiri. Dan juga sedang sexy-sexy-nya, wkwkwkw…!

Tapi bagaimana dengan Tuhan? Allah itu Maha Baik, hanya menerima yang baik-baik? Bagaimanapun, perbuatan begini namanya tetap saja mencuri, kan? Bisa saja Allah meridhoinya, ketika yang punya durian memang mengikhlaskannya. Masalahnya, apakah yang punya durian benar-benar ikhlas? Ini yang perlu kita telisik lebih jauh lagi.

Kemungkinan mereka saling ikhlas bisa saja terjadi, sebab yang jadi korban kadang juga jadi pelakunya. Nah bagaimana dengan saya misalnya? Saya kan tak punya pohon durian sendiri? Kalaupun punya misalnya, itupun lebih tepatnya kepunyaan orangtua saya. Apakah orang-orang yang duriannya saya ambil itu ikhlas terhadap perbuatan saya. Kalaupun akhirnya mereka merelakannya, itupun barangkali karena terpaksa. Dan siapa saja yang mengalami pemaksaan, dia adalah termasuk kepada golongan orang-orang yang teraniaya. Jangan pernah anggap remeh golongan seperti itu. Itulah orang-orang yang doanya paling makbul, Allah SWT sendiri yang menggaransi begitu.

Tapi kan semua saling merelakan?

Ada jenis ‘ikhlas’ yang belum tentu disukai dan bahkan dilaknat oleh Allah SWT. Misalnya, pasangan tak resmi yang begituan atas nama suka sama suka. Yang  wanita rela dan lelakinya juga suka. Inilah jenis ikhlas yang tak disukai Allah. Celakanya lagi banyak pula dari orangtua pasangan seperti itu yang merestuinya. Begitu gejala kehamilan muncul, orangtua keduanya buru-buru sepakat, mereka dinikahkan, resmi secara agama dan diakui pula oleh Negara.

Karib kerabat diundang. Perzinahan begini mesti mendapat restu dari seluruh keluarga besar, kerabat dekat dan teman sejawat. Jujur saja, menurut saya, mendatangi resepsi beginian secara tidak langsung berarti kita telah merestui perzinahan dan bahkan memberi selamat kepada para pelakunya. Padahal Allah tegas sekali berfirman, "Laa takrobuzzina". Janganlah kamu mendekati zina! Ehh...kita malah merestui dan melegalkannya. Ini jelas lebih berbahaya ketimbang sekadar memberi ucapan Natal bagi pemeluk agama Nasrani yang mesti bagaimanapun bisa kita beri alasan kemanusiaan. Bahwa kita hidup berdampingan secara damai. Rasulullah dan para sahabat juga bertetangga dengan orang-orang Yahudi, dan bahkan membela mereka jika mendapat perlakuan yang tidak adil dari umat Islam yang lainnya. Lalu apakah dengan begitu Rasulullah lebih membela Yahudi ketimbang Islam? Tidak bukan…?

Balik lagi ke soal rela sama rela tadi. Upacara resepsi melegalkan perzinahan itu bukan satu-satunya yang berbahaya. Masih banyak tindakan rela sama rela yang tidak akan mendapatkan keridhaan dari Allah. Pasangan artis pemain film atau sinetron melakukan adegan HOT juga melakukannya atas dasar sama-sama rela, (dan uang…?). Apakah Allah SWT meridhoinya?

Tapi itu kan tuntutan profesi? Sama halnya seperti Dokter menelanjangi (wkwkwk…!, cemana ya, nulisnya secara lebih lembut?) pasien lawan jenisnya?

Tapi bagaimana dengan perampok? Mereka melukai, menyiksa dan bila perlu membunuh korbannya? Itu kan juga karena tuntutan profesi? Mungkinkah Allah memakluminya?

*Selamat Siang…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...