Imam Ini mengatakan ada bid'ah hasanah. Dia memberi contoh bahwa Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf atau Abu Hurairah pernah melakukan suatu amalan yang tak pernah dilakukan Nabi. Tak ada yang keliru dari contoh yang diberikannya. Yang keliru adalah pendengar yang kemudian mensyiarkan ulang, bahkan walau dengan kata-kata yang sama persis. Kenapa?
Sang Imam 'mungkin tak salah' saat tak menceritakan bahwa Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf atau Abu Hurairah adalah para sahabat Nabi. Murid dan yang mendengarkannya saat itu tentu tahu, dan sang Imam merasa tak perlu lagi memberi tahu. Persoalannya adalah ketika kisah itu terus diulang-ulang sampai berabad berikutnya. Bahwa ada bid'ah hasanah berikut contoh yang pernah dilakukan oleh sahabat Nabi. DILAKUKAN OLEH SAHABAT NABI. Rujukannya kemudian berhenti pada sang Imam yang menceritakannya. Ini berbahaya.
Bahaya pertama pengkultusan yang merusak aqidah. Tapi yang ingin saya bahas adalah bahaya berikutnya, potensi sesatnya umat. Walau redaksinya sama persis, tapi pemahaman pemirsanya bisa sangat berbeda. Sahabat Nabi yang mana pernah melakukan tahlilan, yassinan dan sebagainya. Ini bukan bicara hasanah dan tidaknya. Ini adalah soal bahwa kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Rasulullah dan sahabatnya.
"...seluruhnya masuk neraka. Kecuali yang mengikutiku dan sahabatku", kata Nabi Muhammad SAW.
Tapi kata Imam Ini kan boleh bid'ah hasanah?
Tuh kan, mentoknya di Imam Ini?
Kesalahan si Imam adalah ucapannya yang menyatakan bahwa ADA BID'AH HASANAH, bukan bahwa 'BID'AH BOLEH, ASAL PERNAH DILAKUKAN SAHABAT NABI'.
"...seluruhnya masuk neraka. Kecuali yang mengikutiku dan sahabatku", kata Nabi Muhammad SAW.
Note: Sampai saat ini seluruh ceramah soal bid'ah yang saya dengar selalu mentok merujuk pada Imam Ini atau Imam Itu, bukan pada bahwa Sahabat Ini atau Sahabat Itu pernah melakukannya, hiiiks.. :(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar