Halaman

17 Okt 2013

Once Upon Time in Timeline

Posting ke-13

Seorang teman update status yang berisi caci maki terhadap suaminya sendiri. Ini sungguh menghibur saya. Apalagi kemudian status tersebut dikomentari pula oleh sang suami yang balik memakinya. Komen tersebut dibalas lagi oleh sang istri dengan makian yang makin gempita. Status tersebut makin seru sebab beberapa teman mereka ikut memperkeruh situasi dengan saling memprovokasi satu sama lain. Si ini membela si istri, sedang yang satunya lagi membela si suami.

Biasanya dalam hal seperti ini saya suka nimbrung di dalamnya. Bukan untuk mendamaikan, tapi untuk memperburuk keadaan karena makin seru pertengkaran mereka, makin ramai juga kegembiraan saya. Teori saya tak sepenuhnya keliru, sebab beberapa orang juga tak tahan untuk tak berkomentar. Tak jelas dia berpihak pada siapa. Saya juga kurang paham dia teman sang istri atau karib sang suami. Sebab komentarnya cuma,

Hahahaha....!”, katanya.

Ada juga komentar berupa nasehat dari seorang yang lain. Celakanya, tak mudah menasehati orang yang sedang mabuk amarah begitu. Sepertinya si pengomentar ini seorang yang netral. Begitu komentarnya muncul, sang istri langsung mencurahkan segala unek-uneknya, tapi tak lupa tetap sembari menyalahkan sang suami. Dalam hitungan detik, sang suami juga mengutarakan keluh-kesahnya sambil tak lupa ikut membalas komentar sang istri sebelumnya. Membela diri sekaligus menyudutkan sang istri.

“...Memang tak ada malunya dia. Aib keluarga dipemerkan”, katanya sambil lupa bahwa dia sendirilah yang pertama menyebutnya sebagai aib keluarga, hahaha...!

Celakanya, teman yang netral tadi malah tak nongol-nongol lagi. Entah karena malas turut campur urusan keluarga orang lain, atau malah menyerah karena bingung dan tak tahu mesti berbuat apa. Atau bisa juga karena  karena cuek dan perduli setan. Tak pasti memang dugaan saya, tapi yang pasti ketidakmunculannya malah makin menambah ramai pertengkaran mereka.

Karena merasa tak ditanggapi curhatnya sang istri makin terluka. Dia merasa tak punya teman. Karena merasa tak punya teman, dia juga merasa tak perlu malu untuk makin membongkar aibnya. Komentar sang suami dibalas dengan tak kalah pedasnya.

“Kau itu yang tak punya malu. Itu-mu aja yang besar, tapi otak ga punya”, katanya.

Sang suami yang mungkin sudah menyadari bahwa pertengkaran mereka sudah menyedot perhatian khalayak mungkin merasa malu. Mengalah sajalah, mungkin begitu pikirnya. Maka komentar itu tak dibalasnya. Harapannya tentu agar sang istri juga tak meneruskan lagi kemarahannya.

Diam sesaat...

Yak, dugaan kita benar, sedang harapan sang suami keliru. Sang istri malah makin kesal rupanya. Tak ada yang menampung luapan amarahnya membuatnya makin terbebani kemarahannya itu. Maka dicobanya lah pula memanggil sang suami,

Wooooy!”, katanya.

Tak ada jawaban.

Ayo dijawab, Pengecut!” panggilnya lagi.

Masih tak ada yang menjawab.

Kesal sekali dia sang suami tak menyahut panggilannya. Demi kepuasannya dan berharap ada yang meladeni, akhirnya binatang lah yang dipanggilnya.

Wooy, Anj***g, Ba*i, Kam***t dsb. Jawab lah woooy...!”, panggilnya putus asa.

Karena tetap tak ditanggapi, maka dia pun update status terbaru.

Kalau mau pulang, tuh, bantal sudah kutarok di luar. Dekat pagar”

Dan kegembiraan baru pun dimulai, hahaha.... :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...