Halaman

17 Okt 2013

Belajar Dari yang Gila

Posting ke-14

Saya iri sama orang gila. Bisa gila dalam tanda kutip, tapi bisa juga orang yang gilanya absolute. Saya pernah mengirim permintaan pertemanan dengan orang gila beneran di Facebook, sayangnya gagal karena kuota jumlah temannya sudah habis. Orang ini beneran gila. Sudah begitu ngetop pula. Dia seorang mantan Caleg yang gagal dan kemudian stress karena kegagalannya itu. Setiap update status melulu soal politik. Promosi Calon Presiden jagoannya, sekaligus mendiskreditkan calon-calon lainnya. Pintar sekali dia. Dari celah sempit dia bisa menemukan banyak logika yang unik dan terbalik dari yang kita duga. Itulah kenapa updetan si gila itu banyak yang menyukai, dan saya salah satunya. Saya sering merasa bodoh setiap kali terlanjur pencet tombol ‘like’, begitu melihat ada seorang lain yang berkomentar sebaliknya karena melihat dengan sudut pandang yang lain. Intinya: saya iri dan ingin berteman dengan orang gila.

Saya ini seorang stalker, pengakuan, hahaha…! Status2 provokasinya sungguh mengembirakan saya. Saya pernah semalaman full dan tak bisa tidur karena melototi timeline orang gila ini sejak awal karirnya di Facebook. Suatu yang bahkan tak pernah saya stalking, terhadap seorang Dian sekalipun, File per file saya buka. Setiap komen yang ada saya baca. Baiknya, ini tidak saja menggembirakan, tapi juga bagus untuk wawasan dan pendidikan politik kita.

Mestinya Dian tersinggung karenanya. Bahkan jika perlu Dian mestinya cemburu kepada orang gila tersebut. Ehh maaf, bukan jika perlu. Yang benar itu: saya sungguh berharap Dian akan cemburu, hahaha… *kode

Saya iri dengan orang gila. Banyak sebab, salah satunya sudah saya sebutkan diatas. Lainnya lagi karena mereka itu hebat dan kuat. Pernah melihat orang gila sakit? Entah apa yang mereka makan dari tempat sampah yang dikorek-koreknya itu. Mereka kuat berjalan kaki dari Simpang Jam sampai Batu Aji yang berkilo-kilo jauhnya. Saat terik kepanasan, kala hujan kebasahan, dan malampun tidurnya pasti kedinginan.Tidurpun tak pandang tempat, bisa di halte dan di emperan. Jangankan orangtua saya, Dian pun bakal menangis jika saya melakukan hal yang serupa itu semua, hahaha…!

Setelah saya pelajari, bisa jadi inilah salah satu bukti teori postif thinking yang banyak digembor-gemborkan buku motivasi dan pengembangan diri. Tak pernah sakit karena memang tak pernah memikirkan akan sakit. Orang gila tak pernah berpikir bahwa makanan di tempat sampah itu kotor, tak baik untuk kesehatan. Dia tak pernah berpikir bahwa remah manusia dan sudah dicicipi lalat itu tidak higienis. Dia tak pernah berpikir soal gizi, takut gemuk hingga jantungan dan sebagainya. Kalau untuk soal yang beginian, terus terang saya memang belajar dan mempraktekkannya dari orang gila.

Saya punya adik yang bekerja di Jamsostek. Suatu kali dia pernah bertanya soal Jamsostek saya. Dan dia sungguh terkejut saat tahu bahwa saya sama sekali tak pernah tahu soal ‘Kartu Berobat’. Saya memang tak pernah menggunakannya. Setelah lebih 3 tahun bekerja, saya bahkan tak pernah mengambilnya dari personalia perusahaan.

“Buat apa? Saya ga pernah sakit”, begitu alasan saya ketika ditanya kenapa kartu Berobat itu tak pernah saya ambil.

Sungguh, ini bukan soal takabur atau tidak. Jika sakit yaa, sakit saja. Yang penting jangan berpikir akan sakit, begitu teori saya.

“Mending tak usah diambil! Saya ikut asuransi, dan sekali bayar premi, besoknya saya langsung masuk rumah sakit”, abang saya ikut nimbrung.

Berpikir akan sakit lah yang membuat kita sakit. Itu teori sugesti. Sugesti di Timeline juga bahaya. Update soal jelek, bakal membuat aura sekitar bakalan ikut jelek. Makanya saya paling tak suka itu soal-soal galau dan semacamnya. Sugesti itu karakternya menularkan. Jadi mending updatenya soal-soal yang mengembirakan saja, setuju…? Selain menghibur, syukur-syukur bisa jadi amal, bukan?

Berikutnya lagi, orang-orang yang gila itu tulus. Apa saja yang mereka lakukan pasti atas kehendak mereka sendiri. Untuk hal ini, siapa saja mesti iri terhadapnya. Tak peduli bakal dikatakan gila oleh orang lain, jika ingin senyum dia akan tersenyum. Lepas, bebas tanpa ada tekanan dari siapapun. Mau diolok-olok budak2 kecik pun, orang gila ini yaa, tertawa saja.

Sungguh berbeda dengan saya. Jika saya galau, seorang Dian pun (balik lagi ke Dian, hahaha…!) belum tentu bisa menghibur saya. Jikalaupun saya tersenyum, itu pasti karena terpaksa. Sungguh, terhadap soal beginian saya lebih ingin belajar dari orang gila, bukan kepada seorang guru sekalipun, meski guru itu adalah Dian. Eee busyet, ini kok baliknya ke Dian melulu, sih…?

Lanjut, nanti aja yaa…! Ga’ konsen ini, hahaha…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...