Halaman

30 Okt 2013

Posting Blunder

Posting Ke-26

Meski menulis sesuka saya, nyatanya lumayan ada juga yang suka. Apresiasi dari mereka apapun bentuknya sungguh saya hormati. Tetap ada yang berkomentar, meski saya tau pasti begitu repot untuk melakukannya. Ada juga ternyata follower saya, meski saya tak menyediakan tombol ‘follow’. Aneka atensi itu sangat menyemangati saya.

Karena tulisan saya bagus? Saya pikir sih, begitu, hahaha…! Sebab nulisnya kan pake computer… ;) Pernah juga sih coba nulis pakai jempol kaki, hasilnya malah ga jelas sama sekali. Minus arti dan sulit dipahami, hakhakhak…!

Saya sendiri ragu tulisan saya emang bagus atau tidak? Kalo posting blunder, banyak sekali malah. Di satu postingan saya tulis begini, dan di post lainnya sebaliknya. Tapi intinya cuma satu. Saya posting sekadar untuk bergembira saja. Syukur-syukur semua yang baca ikut gembira pula. Dari situ sebenarnya terlihat bahwa untuk bergembira itu mudah saja. Mau nulis begini atau begitu, ternyata semuanya malah mengembirakan saya. Jadi siapa yang bilang gembira itu sulit? HAAAAAH….?

Saya bukan tak pernah sedih, kecewa dan semacamnya. Mendengar Arsenal kalah dan dari Chelsea pula saja sudah buat saya galau. *Tuh kan, blunder lagi, hahaha…! Tak satupun dari klub Arsenal itu yang mengenal saya. Apa perlunya saya galau cuma gegara kekalahannya? Bahkan, jikapun mereka menang misalnya rasanya mereka juga tak bakal berterimakasih kepada saya. Padahal saya selalu berdoa untuk kejayaan mereka. Mestinya saya sakit hati, kan?

Dengan menurunkan standart gembira serendah-rendahnya, maka akan makin mudah untuk bergembira. Karena semakin rendah standarnya, makin banyak pula tersedia kegembiraannya. Yang merendah itu temannya banyak. Kenapa banyak orang miskin di negara kita? Karena standar kaya begitu tingginya. Misalnya, jika yang berpenghasilan Rp10.000,-/hari sudah dianggap sebagai kaya, pasti semakin banyak jumlah orang kaya di negara kita.

Melihat dari atas menciptakan kekayaan pandangan. Orang yang kaya itu pasti dekat dengan kemudahan. Dalam kemudahan tersedia banyak pilihan. Itulah kenapa dengan menurunkan standart kegembiraan, akan terlihat bahwa kegembiraan itu ada dimana-mana. Jadi kenapa begitu bodoh untuk galau melulu….? *kode :D

Lagipula galau itu kufur nikmat. Nah, lho…?

Nikmati Gatal Sendiri

Posting Ke-25

Sebagai penulis saya cuma ingin menulis. Jika diusut lebih seksama lagi, sebenarnya saya tak layak disebut penulis. Sedikit lebih cenderung ke pemikir kayaknya, hahaha…! (merendahkan diri meninggikan mutu).Tapi memang saya punya banyak ide, hahaha…lagi :D. Persoalannya, kaya ide belum tentu kaya hasil. Banyak yang bisa melahirkan ide-ide hebat, tapi bingung dalam mewujudkannya menjadi suatu karya. Saat kampanye sebelum terpilih, para pemimpin saling balap melontarkan idenya untuk begini begitu. Begitu terpilih dan hingga tiba pada akhirnya, banyak ide-idenya yang gagal terlaksana dan tinggal sebagai wacana saja. Teori itu semudah menggaruk tapi prakteknya bukan main menyebalkan serupa gatal, hahaha….! (kumat lagi).

Saya tahu persis gaya si Robben menggocek bola dan mencetak gol selalu sama. Dari pinggir lapangan, gocek masuk ke tengah arah kotak penalty dan kemudian tembak pakai kaki kiri. Gool…! Tendangan bebas Beckham selalu mengarah ke pojok kiri atas gawang. Roberto Carlos tak pernah menggunakan kaki kanannya (???) dalam mengoper apalagi menembak bola. Demikian detil pengetahuan saya, tapi jangankan dipercaya sebagai pelatih tim klub sepakbola, sekadar jadi komentator di Siaran Langsung tipi pun saya tak dianggap.

Saya punya banyak ide. Tapi untuk merangkumnya jadi sebuah tulisan itu sungguh tak mudah. Biasanya, ide itu saya pecah-pecah di Facebook atau Twitter. Nah, jika ada komentar atau replay dari situlah kemudian saya melihat ruang untuk saling menambal sulamnya jadi satu tulisan yang utuh. Gaya tambal sulam inilah biasanya yang saya terapkan diblog. Sulit untuk menghasilkan jahitan bagus lewat gaya menyulam tapi pakai menambal itu. Lihat saja betapa banyak tulisan saya yang gagal nyambung tiap paragrafnya. Tapi entahlah, yang penting saya menikmatinya, kok… :D

Nah, itu yang terpenting. Saya menikmati tulisan saya sendiri. Saya tak pernah peduli siapa yang akan baca. Karena itulah maka saya sama sekali tak punya minat terhadap SEO-SEO an. Saya tak pernah pusing soal index di Google. Saling komen apalagi saling follow. Jika ingin komen yaa komen saja. Mau follow yaa follow saja. Mau baca saja juga terserah. Seorang teman mengaku ingin follow blog saya, tapi tak menemukan tombol follow.

“Yaa sudah, dibaca saja saya sudah senang kok!”, begitu jawab saya.

Idealisme itu saya terapkan dalam menulis. Tak peduli orang suka atau tidak, jika ingin menulis, yaa saya menulis. Banyak sekali sebetulnya lomba menulis blog belakangan ini. Besaran hadiahnya pun sungguh menghasut pula. Saya penggemar hadiah, apalagi yang berupa uang. Duit, betapapun lusuhnya, atau agak robek sikit di beberapa bagian pun akan saya sikat. Tapi jika sudah menjajah idealisme, saya lebih pilih menolak meski tak rela juga sebetulnya.

Banyak yang mensponsori lomba blogging tersebut. Tapi hampir semuanya mengkebiri idealisme saya. Saya bisa menulis tentang PLN misalnya. Bahkan mungkin bisa jadi beberapa posting mampu saya tulis, sebab ada begitu banyak kekesalan saya terhadapnya. Tapi jika disuruh menulis yang baik-baik soal PLN? Bisa saja, cuma sungguh bertentangan dengan nurani dan idealisme saya.

Saya hanya menulis yang saya suka.  Tapi saya mohon dengan sangat, tolong jangan ditanya soal proyek Oktober ini yaa…?

*Okeh, nanti saya lanjut lagi…

Saya Penulis, Bukan Blogger

Posting Ke-24

Selamat Hari Blogger, semuaaa…!
(jika kalian baca posting ini 2 hari yang lalu, hehehe…)

Semalam saya sempat baca kiriman di Grup Blogger soal tawaran untuk jadi narasumber acara sebuah sekolah di Tanjung Balai Karimun. Awalnya saya tertarik, sebab syaratnya juga mudah saja, yang penting seorang blogger. Itu saja. Tapi nyali saya langsung ciut begitu tahu tema acaranya berupa ‘optimasi blog’. Bukan karena saya tak mengerti, tapi lebih karena idealisme saya saja. Di post berikutnya saya akan uraikan alasan detailnya, hehehe…!

Meski tak ahli, tapi saya cukup paham apa itu SEO, misalnya. Saya mengerti pengaruh penggunaan label, tag, peng-kategorian dan lain semacamnya untuk meningkatkan Pagerank di Google index, misalnya. Saya juga paham penggunaan bermacam widget akan menguras bandwith buat pengunjung. Saya pun tahu, bahwa untuk berkomentar di blog saya tak mudah sebab dengan alasan pribadi, sama sekali saya memang tak punya niat mempermudahnya. Saya pun mengerti apa itu backlink dan semacamnya.

Penulis mestinya beda dengan blogger. Saya ini penulis, meski cuma di blog saja. Padahal blog ternyata bukan cuma milik penulis.  Ada blog yang isinya cuma berupa gallery photo, dan ini pasti milik seorang photographer. Selain itu juga ada sharing blog sebagai tempat saling berbagi file ebook, video, lagu, software dan semacamnya.

Ada banyak blog copy-paste. Baik yang sudah ijin pada poster aslinya, ataupun yang tanpa permisi sama sekali. Intinya sama saja, ini pasti milik seorang plagiator. Dan yang lebih parah lagi, banyak blog yang isinya melulu materi pornografi, entah itu berupa gambar atau video. Tak jelas, apa sebutan yang cocok bagi pemilik blog ini. Tapi yang pasti sebagai penulis, saya sama sekali tak rela jika disetarakan dengannya.

Terakhir ada juga blog yang tanpa identitas. Campur aduk, semua hal bisa kita temukan di sana. Sehari dia posting belasan, bahkan sampai puluhan artikel. Entah terbuat dari apa otaknya hingga mampu konsisten melahirkan karya yang bermutu serupa itu, dan banyak pula. Semua hal dia kuasai. Mau soal tekhnologi, wawasan umum, politik bahkan berbagai fakta langka pun dia ketahui. Hebatnya lagi, belum terdeteksi pula sebagai blog spam atau copy-paste.

Mencampuradukkan semuanya sebagai blogger saya rasa sungguh tak bijak. Saya juga punya banyak teman photographer. Tapi menyamakan seorang penulis dan photographer tentu keliru. Yang satu tukang tulis, sedang satu lagi tukang photo. Saya juga penggemar fanatic blog yang suka sharing aneka file. Banyak malah yang secara diam-diam saya manfaatkan tanpa permisi sama sekali, apalagi sampai mengucapkan terimakasih.

Tapi sekali lagi, menganggap sama orang yang suka berbagi dengan orang yang suka mencuri tentu tak adil. Bagaimana mungkin orang yang suka berbagi file kita setarakan dengan orang yang suka mencuri artikel. Bagaimana mungkin karya seni berupa photografi dianggap sama dengan foto porno fake artis, yang kemungkinan hasil copas pula?

*Udahan dulu yaa… :D

29 Okt 2013

Baik Belum Tentu Baik

Posting Ke-23

Saking ikhlasnya beramal baik khususnya terhadap sesama, saya malah sering memamerkannya. Cerita bahwa saya sering begini, bahwa si anu itu saya yang bantu. Ikhlas apaan macam begitu, ya….? Hahaha…!

Eits, jangan kesusu menilai bahwa saya suka pamer ibadah atau riya. Ilmu ikhlas tertinggi adalah ketika dalam beramal kita sama sekali tak berharap pamrih apapun, termasuk imbalan pahala dari Allah. Tak peduli iming-iming pahala dari Allah, saya senang sudah bisa membantu seseorang. Saya pun puas dan bersyukur jika apapun yang saya lakukan bisa jadi suatu yang berguna. Ikhlas versi saya, bermanfaat bagi orang lain tanpa pamrih buat diri sendiri. Biarlah tak mendapat pahala apa-apa, asal bantuan saya ada gunanya.

Tapi itu teori yang keliru, dan banyak malah kelirunya. Pertama: benarkah bantuan saya itu bermanfaat bagi si penerima? Jangan-jangan bukannya jadi berkah, malah bisa berakibat musibah baginya? Saya alpa soal yang begini.

Dalam hal meminjamkan uang atau barang misalnya. Belum tentu pinjaman yang saya berikan itu bermanfaat. Bukan tak mungkin malah sebaliknya, jadi laknat. Apa jadinya bila si teman alpa dalam membayar hutangnya? Oow, sungguh luar biasa akibatnya. Hutangnya itulah yang akan menghadangnya di depan pintu syurga nanti, meski dia mati sebagai seorang syuhada sekalipun Astagfirullahaladziim…!

Boleh-boleh saja saya mengaku rela soal hutangnya di dunia sekarang ini. Tapi jika ternyata suatu saat dia mendahului saya ke syurga, apa saya bisa terima begitu saja? Wong saya yang sering membantunya, kok malah lancang dan tega menyalip saya.

Lalu apa jadinya pula jika pinjaman yang saya berikan ternyata malah digunakan untuk hal-hal yang dilarang agama misalnya? Dipakai untuk beli minuman keras atau narkoba misalnya? Bantuan dari saya itulah nanti yang berandil dalam dosa perbuatannya.

Bantuan buat panti asuhan pun belum tentu jadi berkah buat saya dan mereka. Apa jadinya jika misalnya beasiswa yang kita sumbangkan ternyata menghasilkan kelak seorang muda berprestasi yang ketika menjadi suatu pejabat malah korupsi?

Kekeliruan berikutnya; adalah lewat bantuan itu ternyata saya malah melecehkan kebesaran Allah Yang Maha Kaya. Apalah artinya seribu rupiah yang biasa saya berikan kepada tukang parkir, ketimbang yang Allah berikan terhadapnya. Saya cuma memberinya sekali-sekali. Tapi bertahun-tahun dia betah jadi tukang parkir siapa yang membuatnya tetap survive?

Saya pamer bahwa saya menerima begitu saja orang asing untuk menumpang tinggal di tempat saya. Padahal itulah saja yang bisa saya berikan. Tempat saya sempit, tempat tidur dan selimut tak ada.Kasur bolehlah kita bagi 2. Tapi bantal cuma 1, dan itu saya yang pakai. Soal makan, nah itu urusan perut masing-masing.Eee, sudah begitu saya pun sudah sok merasa berhak untuk menyuruh begini begitu. Saya sah kalau mau marah kenapa ini lantai tidak disapu.

Padahal Allah tak pernah berhitung soal dunianya yang luas begini ditempati begitu saja oleh manusia. Astagfirullahaladziiim…!

Yaa Allah, masukkanlah hamba kepada golongan orang-orang yang Engkau ridhoi yaa Allah, aamiin…!

Pemuda Hallo Selebriti Part 3

Posting Ke-22

Kita mesti jujur, bahwa untuk hidup di negeri yang rumit seperti di Indonesia ini sungguh tak mudah. Mau hidup lurus, jalannya sendiri berbelok-belok. Ikut berbelok rawan kesasar dan menyimpang. Dalam situasi serba paradoks begitu, kreatifitaslah yang paling menentukan berhasil tidaknya kita mencapai akhir dari perjalanan yang dituju.

Kaum muda Indonesia sebenarnya adalah yang ter-kreatif di dunia. Tak usah dipercaya kata-kata saya itu sebab memang tak pernah saya riset sebelumnya. Keyakinan saya bersumber dari berbagai fakta yang dilakukan para pemuda jaman ‘Hallo Selebriti’ ini. Beragam jenis kejahatan cyber terjadi di Indonesia para pelakunya mestilah kaum muda, bukan? Bermacam modus penipuan via internet, sms dan telepon mustahil dilakukan oleh kaum tua. Legenda Mama Minta Pulsa pasti cuma terjadi di Indonesia yang pelakunya pun mestinya kaum muda.

Sebelumnya, saat jaman puber telepon seluler, berbagai kreasi lewat ‘SMS Reg’ juga mewabah di Indonesia. Dari sekadar sms curhat, lucu-lucuan, sampai sms yang melayani pertanyaan-pertanyaan fans, sampai kepada sms dakwah. Tuh, saking kreatifnya, bahkan dakwah saja bisa dikomersilkan.

“Mau terima sms langsung dari saya? Ketik Reg spasi Raul kirim ke 0813 6440 3202. Sms yang kamu terima langsung dari handphone ku, lho…!”

Data mengabarkan bahwa ada jutaan pengangguran di Indonesia. Tapi jarang terdengar ada kasus kematian karena kelaparan, bukan? Sesekali sih, memang ada (meski saya malah tak pernah dengar sama sekali) kayaknya. Apakah para penganggur itu orang-orang yang sudah kaya? Pasti tidak. Apakah para penganggur itu dibayar oleh negara seperti (konon) di negara makmur (bukan kaya) Brunai Darussalam? Juga pasti tidak jawabannya. Meski main bilyardnya seharian, selalu punya uang buat mabuk-mabukan. Nongkrong dan mabuk-mabukan melulu, tapi selalu juga punya baju baru ketika lebaran. Rejeki memang urusan Tuhan. Tapi Tuhan sendiri yang memerintahkan manusia untuk memburunya. Kenyataan bahwa bertahun-tahun jadi pengangguran dan tak mati-mati juga, pastilah ada sesuatu yang tetap membuatnya tetap survive. Itulah pasti karena kreatifitas. Ada saja pasti yang bisa dirupiahkannya. Bisa sekadar jasa parkir, atau jual beli kendaraan dan lainnya.

Indonesia memang negara kaya, meski untuk dikatakan makmur tidak bisa. Apa saja ada di Indonesia. Sumber alam apa saja ada di Indonesia. Makanan jenis apa saja kita punya. Tanaman, buah-buahan semuanya serba ada. Bahkan hewan seperti Buaya Darat, Kucing Garong dan Keong Racun saja eksis di seluruh penjuru Indonesia.

Semua itu mestinya bisa menjadikan kita sebagai bangsa yang mamkur dan sejahtera. Tapi kenyataannya kan tak begitu. Apakah karena sumber daya manusianya? Juga tak bisa kita sembrono dalam mengamininya. Hampir setiap tahun Indonesia selalu menjuarai berbagai Olimpiade dan Kompetisi antar pelajar di seluruh dunia. Jadi persoalannya di mana?

Indonesia butuh tokoh yang inspiratif sebagai teladan dan panutan. Ini yang kurang di Indonesia. Para artis, sebagaimana telah diceritakan pada post sebelumnya jelas tak bisa dijadikan tuntunan. Saya sempat menaruh hormat pada seorang artis yang menceraikan istrinya karena merasa gagal dalam mendidik istrinya bersikap islami.  Hampir saja saya merestuinya ketika beliau maju sebagai salah satu calon pemimpin di suatu PILKADA. Tapi simpati saya langsung gugur begitu sempat melihat ‘behind the scene’ salah satu film-nya yang sungguh-sungguh kotor dan menjijikkan.

Pun, begitu dengan para pemimpin terpilih, rata-rata gagal menjadikan dirinya sebagai panutan. Dalam berjanji saja mereka sering tak berhitung kemampuan untuk menepatinya. Sebelum dipilih mereka mengaku akan mengabdi. Nyatanya setelah terpilih mereka mengaku sebagai pekerja. Sebagai pekerja, penghasilan lah tujuan yang paling utama. Dari situlah muncul penyalahgunaan wewenang, mark-up anggaran, korupsi dan aneka jenis criminal kerah putih lainnya.

Jadi tak usah heran, kenapa aneka kreatifitas para kaum muda Indonesia tak mampu membawa Indonesia menuju kepada sejahtera. Tak adanya sosok panutan membuat kreatifitas mereka sulit untuk diarahkan. Apa yang bisa kita teladani, jika bantuan social, dana haji dan bahkan proyek pengadaan Al-Quran pun dikorupsi….?

*Kepanjangan lagi, udahan dulu yaa… :D

28 Okt 2013

Pemuda Hallo Selebriti Part 2

Posting Ke-21

Lanjutan post sebelumnya…

Untuk kembali jadi tontonan begitu sungguh suatu perjuangan yang tak mudah. Untuk mendapatkannya (lagi) dia mesti mengabaikan rasa malunya. Dan untuk soal ini dia sungguh hebat. Mengabaikan rasa malu itu sungguh bukan soal yang sederhana. Meski tak dihitung sebagai dosa, ketahuan kentut saja saya sudah tak berani unjuk muka. Tapi memang dihadapan lapar, rasa malu memang bisa kalah wibawa. Dan soal inilah yang kita belajar darinya. Itu tuntunan yang berbahaya.

Kembalinya ke dunia hiburan sungguh mengajarkan ketegaran dan kesabaran yang salah kaprah. Ketegarannya mengajarkan bahwa seluruh persoalan hidup bisa dihadapi jika bersedia mengabaikan gengsi dan rasa malu. Darinya kita belajar bahwa seluruh kemalangan hidup adalah ujian dari Tuhan. Padahal kemalangan tidak melulu karena ujian Tuhan. Ada kemalangan karena hukuman. Ada bencana sebagai teguran, dan ada juga musibah sebagai ujian.

Itu sungguh melecehkan kehendak Tuhan. Kemalangannya yang dia dapat adalah akibat kelakuannya sendiri. Tuhan hanya menguji hambaNYA yang memang layak uji. Apakah dia termasuk hambaNYA yang layak uji? Kebangkrutan yang dialami Amerika pastilah bukan karena ujian dari Tuhan, bukan?

Defenisi kemalangan menjadi kabur. Sebab itulah kenapa ada banyak kasus perkosaan yang dilakukan atas nama suka sama suka. Jika peristiwanya terjadi di hotel, mestinya itu bukanlah suatu perkosaan. Apalagi jika kejadiannya di kamar kost-kost an.

Banyak pernikahan yang terjadi karena sang dara keburu berisi. Ada yang nikahnya diam-diam. Ada juga istilah kawin lari. Nikah diam-diam saja sudah tak tepat, sebab demi jauh dari fitnah agama mengajarkan untuk mengabarkannya. Apalagi kawin sambil berlari, bukan main repotnya pasti. Restu itu mestinya diminta, bukannya dijauhi, bukan?

Eetapi ada juga yang gembira karena pernikahan buru-buru tersebut. Pesta tetap digelar meriah. Mestinya ini adalah perayaan atas dosa zina mereka, dan anehnya semua tamu malah menyelamatinya, hahaha…!

Banyak pemuda-pemudi yang pamer ‘zina’ tanpa malu-malu. Jika di jaman Nabi Musa as hari Sabtu adalah hari special buat Tuhan, maka bagi generasi ‘Hallo Selebriti’, Sabtu hari khusus buat pasangan. Ringkasnya: pelajaran apa yang kita dapat sebagai pemuda dari tayangan minus yang tercermin dari para artis tersebut?

Mereka mengajarkan bahwa malu itu tak perlu. Mereka memang ahlinya soal itu. Karena malu bagi para penampil adalah soal yang tabu. Karenanya, meski sudah memalukan begitu rupa, tetap saja PeDe lagi di depan kamera. Jadi ini adalah pelajaran yang salah kaprah soal rasa malu.

Kalaupun misalnya tetap ingin jadi artis, mestinya tampillah beda dari sebelumnya. Sebagai penyanyi, bikin kek album reliji, misalnya! Atau sebagai wanita ganti tampilan dengan berjilbab, misalnya? Itu yang mesti dilakukan jika ingin tunjukkan diri menyesal, tobat dan sama sekali tak punya niat untuk berbuat konyol apalagi tolol seperti sebelumnya. Tapi dasar lacur, mengupdate rokok dan pembalut lebih penting di atas segalanya.

Pemuda Hallo Selebriti


Posting Ke-20

Apa kaitan Sumpah Pemuda dengan para artis menimbulkan pertanyaan di otak landai saya. Setiap peringatan Hari Sumpah Pemuda mesti para artis lah yang jadi sasaran para pemburu berita, khususnya media infotainment. Kepada para artis disodorkan pertanyaan soal makna Sumpah Pemuda. Hampir semua infotainment menanyakan soal yang sama, termasuk ‘Hallo Selebriti’ tentunya, hahaha…!

Okelah, namanya saja infotainment, jadi narasumbernya mesti para artis, bukan? Persoalannya, Sumpah Pemuda itu tujuannya jelas bukan untuk hiburan, apalagi untuk sekadar bermain-main. Mana ada yang namanya ‘sumpah’ dijadikan sebagai ‘hiburan atau mainan belaka. Lagipula tak satupun dari artis narasumber tersebut yang tercatat sebagai saksi sejarah, apalagi terlibat dalam Sumpah Pemuda itu. Artis itu dunianya sekadar hiburan saja. Pura-pura belaka. Sedang Sumpah Pemuda adalah soal yang begitu seriusnya. Jadi mestinya tak ada kaitan sama sekali antara artis dan Sumpah Pemuda.

Apa yang bisa kita ambil dari para artis soal Sumpah Pemuda? Keteladanan? Sebagai public figure mestinya mereka memang jadi panutan. Masalahnya, banyak diantara mereka adalah sosok yang jauh dari layak untuk diteladani. Banyak memang artis berprestasi, tapi yang dikenal karena sensasi dan kontroversinya malah jauh lebih banyak lagi. 

Pemuda dulu belajar dari pengalaman, sedang para pemuda kini belajarnya dari tontonan. Para pemuda-pemudi dulu mengorbankan harta bahkan nyawa demi kehormatan dan harga diri bangsa. Kita, muda-mudi jaman ‘Hallo Selebriti’ banyak yang malah berlaku sebaliknya, mengabaikan kehormatan dan harga diri demi mengupdate rokok dan pembalut. Tontonan adalah satu diantara sebabnya.

Sebagai artis biasa, dia cuma muncul di tipi dan di koran. Tapi sebagai artis porno, di Handphone pun dia bisa eksis, hahaha…! Sebagai penyanyi, seluruh albumnya cuma laku sekian juta keping. Sebagai artis film, dia cuma nongol di bioskop sekian waktu dalam setahun. Tapi sebagai actress 3GP, dalam seminggu saja sudah puluhan juta download, hahaha…!

Ada artis yang karena kelakuan telah mematahkan karirnya sendiri. Dia meroket jauh tinggi hanya untuk jatuh dari ketinggian yang dia ciptakan sendiri. Semakin tinggi dia terbang, semakin parahlah kejatuhannya. Kebangkrutan adalah soal yang lupa dia hitung, dan sekarang sudah berada tepat mengancam di depan matanya.

Saya bisa membayangkan konflik batinnya saat itu. Saya bisa menerawang pikirannya untuk bunuh diri saja. Tapi dia pasti tak ingin mati. Mati bunuh diri saja sudah demikian horornya. Apalagi sudah matinya bunuh diri, dosa kelakuan minusnya itu ikut pula pasti. Sudah menghadap Tuhan dengan bekal berlipat-lipat dosa, meninggalkan aib pula bagi manusia yang mengenalnya. Kambing kurban saja matinya bangga dan menghadap Tuhan dengan kepala tegak karena diiringi seluruh umat Islam dengan doa. Jadi dia pasti pilih hidup saja, meski tentu saja tak mudah.

Kesulitan pertamanya tentu soal nama baik yang mesti dipulihkan. Persoalannya itu bukan main rumitnya di Indonesia. Kita sudah diajarkan pepatah ‘sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang takkan percaya’. Dia juga pasti mengerti pepatah ini. Jadi dia juga tau cara mengatasinya: TEGAR.

Dapurnya mesti berasap. Gatalnya butuh digaruk, hahaha…! (kumat). Lagipula sebagai (mantan) artis terkenal dia butuh untuk tetap eksis. Inilah kelebihan artis terkenal, tetap punya akses ke dunia tipi. Kelakuan adalah soal belakangan, yang utama adalah nilai jual beritanya. Itulah pula yang membedakannya dengan saya yang baru calon artis. Meski kelakuan saya tak parah begitu, tapi dia menyalib saya melulu, hahaha…! Jadilah, dia kembali jadi tontonan dan saya tetap jadi penonton. Dan sebagai penonton, dialah yang kita jadikan tuntunan.

Kepanjangan dan mulai ngawur. Ntar aja lanjutannya yaa, hehehe…:D

*Selamat Hari Sumpah Pemuda…!

Syarat dan Ketentuan Berlaku

Posting Ke-19

Balik lagi ke post soal bahwa saya orang baik, hehehe…!

Sebulan belakangan ada seorang yang menumpang tinggal di tempat saya. Karena saya orang baik, maka saya tumpangi saja. Banyak teman yang bertanya-tanya kenapa saya berani menerima orang tak dikenal itu untuk tinggal di tempat saya. Lagipula salah seorang dari mereka rupanya ada yang ‘sedikit’ kenal dan tau sejarah ‘gelap’nya.

“Dia anak tak beres tuh”, katanya mengingatkan (lebih tepatnya: memprovokasi) saya.

Selama ini setidaknya ada 2 syarat yang kita tetapkan dalam memberi bantuan. Pertama, si penerima bantuan adalah pihak yang memang harus dibantu. Tapi ada lagi syarat berikutnya: si penerima mestilah pihak yang memang boleh dibantu.

Tiba-tiba saja ketika pulang kerja malam itu (habis lembur) dia nongol di depan tempat tinggal saya. Ringkas cerita, dia ingin numpang tidur untuk malam itu dan seterusnya (entah sampai kapan, hahaha…!) Bagi saya sih tak masalah, sebab seperti yang pernah saya ceritakan di post terdahulu, bahwa saya sering sekali dititipi Allah orang-orang yang butuh dibantu. Jadi meski kenal atau tidak, yaa…saya bantu.

Persoalannya tak mudah teori saya ini diterima begitu saja oleh banyak kerabat dan teman dekat saya. Intinya menurut mereka, syarat memberi bantuan adalah si penerima memenuhi SEMUA syaratnya, bukan cuma salah satunya. Teman yang menumpang ini sudah memenuhi syarat sah yang pertama, tapi gagal di syarat kedua. Beda tafsir ini soal syarat ini cukup berbahaya. Intelektual saya terancam dilecehkan. Saya sering sekali mengalaminya. Saya sering dikatai ‘BODOH’ dan ‘TERLALU BODOH’ gegara terlalu gampang memberi pinjaman misalnya pada seorang teman.

“Ahh, bodohnya kau! Tak bakal dibalikin tuh, uangmu!”

Mestinya ini teman mendoakan yang baik-baik bagi saya, bukan? Tidak malah sebaliknya. Tapi saya orangnya ikhlas, kok. Tak masalah dikatakan bodoh oleh manusia, yang penting Tuhan lebih tahu niat baik saya. Lagipula versi saya, jika mau menolong yaa, lakukan saja. Jika mau menyumbang yaa, menyumbang saja. Tak perlu diselidiki siapa dan apa latar belakang si penerima (peminta) sumbangan tersebut. Dalam memberi pahala Allah juga tak pernah mengkaitkannya dengan dosa-dosa yang pernah dilakukan hambaNYA, bukan? Apa jatah pahala bersedekah seseorang dibatalkan gara-gara dosa bergunjing dan suka fitnah yang dilakukannya? Tidak, bukan?

Saya ikhlas dalam beramal baik. Saya tak ingin keikhlasan saya berbuat baik ‘gugur’ hanya karena suka menelisik latar belakang pihak yang saya bantu. Teman ini cuma butuh tempat tinggal. Karena bisa maka saya bantu. Begitu saja. Soal bahwa dia ‘orang hitam’, itu soal lain. Tak ada urusannya dengan saya. Toh, tentara musuh sekalipun dalam peperangan mesti dibantu dan diobati jika mengalami luka-luka, bukan?

Urusan kita cuma soal amal baik. Urusan ganjaran pahala atau dosa, serahkan saja pada Tuhan. Apalagi soal dosa orang lain, pasti bukan urusan kita. Itulah kenapa kita dilarang bergunjing, apalagi memfitnah. Mengurus dosa orang lain sama saja dengan menyalip kehendak Tuhan.

21 Okt 2013

Cuek yang Ribut

Posting Ke-18

Secara umum Batam adalah daerah cuek. Maksudnya setiap pribadi hanya sibuk dengan urusan diri sendiri. Tak usah heran jika antar tetangga pun banyak yg sekedar tau rupa tapi buta akan nama. Ada kecelakaan di jalan raya misalnya, cuma sekadar menghasilkan kerumunan yang miskin aksi kepedulian. Juga tak perlu risau, misalnya ada pasangan ilegal yang tinggal di atap dan bahkan kamar yang sama. Di Batam, semua mahasiswa sibuk dengan kuliahnya. Karyawan pun begitu pula, sibuk dengan pekerjaannya saja. Semua sibuk menggaruk gatalnya sendiri.

Kedudukannya sebagai daerah perantauanlah yang menjadikannya serupa itu. Dengan hitungan upah yang tergolong rendah, antar sesama pun tak banyak waktu untuk saling berziarah. Masing-masing bergulat di zona nyamannya. Tak ada kesempatan untuk perduli pada yang bukan urusannya. Yang puasa boleh tetap puasa dan yang tidak pun tak perlu sungkan untuk tidak berpuasa. Tak ada istilah jaga imej di Batam, sebab terhadap imej pun bahkan semuanya cuek.

Karena semua cuma soal pribadi, mestinya setiap persoalan adalah juga soal pribadi. Jadi jikapun ada soal pertikaian, mestinya itu juga cuma pertikaian personal. Tak besar akibatnya sebab kecil saja cakupannya. Mudah saja mengatasinya, sebab sedikit saja pelakunya.

Tapi di luar yang umum tentu ada yang khusus. Untuk soal yang bersifat khusus tentu saja butuh perhatian yang khusus pula. Tak kurang dari 33 lokasi di Batam yang masih tercatat sebagai kampong tua. Terhadap yang tua selain perhatian yang khusus mestinya juga mengurusnya secara serius. Mengabaikan, apalagi menganggap yang tua sebagai ‘tidak ada’ atau remeh saja, itulah yang dinamakan durhaka.

Karakter tua adalah lemah dan tak berdaya. Inilah pihak yang rentan dipandang sebelah mata dan mudah diperdaya. Itulah juga yang dialami belakangan ini oleh warga Tanjung Uma.

Karena kedudukannya yang lemah dan tak berdaya itulah mereka mudah diperdaya. Aneka kepentingan berebut menguasainya. Entah disadari atau tidak, milik mereka ternyata telah dipreteli. Yang itu ternyata sudah dijual. Yang ini ternyata sudah ada yang beli. Eee yang di sana pun rupanya sudah ada pemiliknya pula.

Tapi ada yang pemerintah lupa. Bahwa sebagai kampung, mereka masih merawat kehidupan bersosial. Sesama tetangga masih saling tegur sapa, tidak sekadar senyum saja. Yang sakit masih ada yang besuk. Yang ini butuh ke rumah sakit, yang punya mobil saling balap menawarkan bantuan. Masih ada jadwal gotong royong. Masih banyak yang saling titip belanjaan ke pasar. Apa-apa masih bisa saling ngutang.

Anak si ini kenal bahwa yang itu namanya Ante Bebel, hahaha…! Bahwa dia dulu sekolahnya di situ dan sekarang kerja di sana. Malam-malam dia kuliah di sana. Waktu kecil dia dulu suka begini, ehh setelah besar sekarang kok jadinya begitu? Hahaha… :D

Nah, kalo yang punya bengkel itu orangnya suka mabuk. Sudah begitu mabuknya rusuh pula. Kalau aku Ketua RT, sudah kuusir dia dari kampung ini. Bikin malu Tanjung Uma saja. Eee tapi Bapaknya kawan main domino aku pula, hahaha…!

Tak mudah berhadapan dengan kekuatan social seperti ini. Sebagai orangtua mereka lebih berpengalaman mengatasi aneka persoalan. Terlebih lagi mereka juga solid soal kekompakan sebab mereka bersama sudah dalam waktu yang lama. Sakit yang satu adalah derita bagi yang lainnya. Menyakiti mereka berarti mengundang penyakit buat diri sendiri. Terbukti, Polda Kepri saja sampai minta bantuan ke Polda Jambi untuk mengatasinya.

Sebenarnya tak sulit mengurai persoalan ini. Terlihat rumit, karena memang melibatkan banyak orang. Tapi pada intinya ini cuma persoalan antara 2 pihak yang bersengketa, yakni pihak masyarakat dan pihak developer. Nah, karena yang protes masyarakat, berarti PASTI ada permasalahan dengan developernya, bukan? Nah developer kan sudah bilang bahwa mereka sudah dapat ijin dari BP Batam (dulunya Otorita Batam). Nah berarti yang bermasalah BP Batam, kan? Nah soal lahan di Batam urusan siapa? BP Batam, kan? Berarti sebenarnya ini urusannya AMAT RUWET, sebab yang mesti menyelesaikan permasalahan adalah pihak yang justru bermasalah itu sendiri, hahaha… :D

*Selamat Malam…!




20 Okt 2013

Bantuan yang Merepotkan

Posting Ke-17

Pada dasarnya manusia normal pastilah orang baik, setidaknya punya niat untuk berbuat baik. Begitulah pula dengan saya dan kamu tentunya. Penjahat paling kejam pun rasanya tak keberatan jika dimintai tolong untuk menunjukkan sebuah alamat misalnya. Malah terkadang saking nafsunya, bantuan yang kita berikan tak jarang malah jadi merepotkan orang yang kita Bantu.

“Mas, Blok M no. 87 di mana ya?”, Tanya seseorang.

Sebenarnya ingin sekali saya bisa menunjukkan alamat yang dimaksud. Persoalannya saya sendiri kurang mengerti alamat yang dimaksud.

“Waduuh, saya sih kurang tau, Mas! Cuma kalau ga salah, arahnya ke sana, deh. Setelah Rumah beratap biru itu, Mas belok kanan, lurus dan bla…bla…bla…!”

“Oow, arah situ ya?”

“Iya, Mas! Cuma saya memang kurang tau juga sih. Tapi kayaknya emang ke situ, deh. Coba aja Mas jalan ke sana!”

“Setelah Rumah atap biru belok kanan, kemudian lurus dan bla…bla…bla…, begitu ya?”

“Iya, Mas! Coba aja jalan ke situ dulu. Nah, nanti di ujung ada pangkalan ojek. Tanya aja sama orang-orang di situ. Saya memang kurang yakin sih, tapi kayaknya memang di situ deh!” 

Begitulah sisi kemanusiaan kita. Padahal ada yang kita lupa bahwa soal kebaikan yang penting itu niatnya. Itulah hebatnya kebaikan, karena dia sungguh mudah belaka. Yang penting berniat berbuak baik, begitu saja. Batal berbuat baik juga ‘tak mengapa’ sebab pahala niatnya sendiri tak gugur begitu saja.

Apa gunanya berniat baik, tapi justru berakibat buruk? Misalnya berakibat yang bertanya tadi jadi kesasar. Bisa jadi dia sedang ada kepentingan besar bertemu rekan bisnis misalnya. Keterlambatannya gegara mengikuti arahan keliru kita tak mustahil menggagalkan peluang bisnisnya, bukan? Atau bisa juga dia adalah seorang dokter atau petugas medis dengan urusan yang menyangkut soal nyawa manusia?

Bagaimana mungkin kita berusaha meyakinkan seseorang jika kita sendiri tidak yakin? Membuat yakin seseorang saja bahkan bukan soal yang sederhana. Pembicara hebat seperti Mario Teguh saja banyak dicibir soal kata-kata yang keluar dari mulutnya. Itulah maka ada jargon yang tercipta bahwa ‘Hidup tak semudah bacot Mario Teguh’, hahaha…! Padahal Mario Teguh itu adalah motivator ulung yang setiap kalimatnya terdengar begitu teduh dan meyakinkan. Apalagi jika orang yang berusaha membuat jadi yakin itu sendiri justru tidak yakin pada dirinya sendiri. Ini sungguh tidak logis.

Nabi pernah bersabda bahwa ‘jika ragu, tinggalkan’! Itu sabda Nabi lho, bukan sabda Raul, hehehe…! Menolak mengikuti sabda Nabi berarti ingkar sunnah. Ingkar sunnah berarti bukan pengikut Muhammad SAW. Padahal menjadi pengikutnya saja belum mendapat jaminan akan syafaat darinya di hari kemudian kelak. Apalagi menolak jadi pengikutnya. Ihhh, horror…!

19 Okt 2013

Anugerah Itu Mandat

Posting ke-16

“Raul, pinjam duitmu dulu Rp 20.000,-. Saya tak punya duit lagi nih”, kata seorang teman kerja.

Tanpa pikir panjang sang teman saya pinjami, meski setelahnya berbalik saya yang jadi tak punya uang sama sekali. Sebenarnya kurang tepat orang ini saya anggap sebagai teman. Anak gadisnya saja cocok sekali jika bersedia jadi pacar saya, hahaha…! Lebih dari itu, kami juga kenalnya juga cuma di tempat kerja, itupun berbeda departemen pula. Intinya yaa, kami cuma teman sebatas kenal saja, lain tidak.

Mestinya dia tidak tahu bahwa saya ini orang baik. Jadi kenapa dia percaya diri bahwa saya bisa dimintai tolong begitu mencurigakan saya. Jangan-jangan bahwa saya memang orang baik sudah bukan rahasia lagi, hahaha…! Jika memang begitu, pertanyaan saya tentang nasehat teman beberapa waktu lalu terjawab sudah. Seorang teman sekolah dulu yang sekarang kami dipisahkan jarak dan belum pernah sekalipun bertemu lagi (sekitar 13 tahun lebih) sejak tamat sekolah pernah menasehati agar saya jangan terlalu baik sama orang.

Saya heran, darimana dia tahu kalau saya ini orang baik. Terlalu baik malah hingga dia merasa perlu untuk menasehati saya. Jaman sekolah dulu, sama sekali tak ada indikasi sama sekali kalau saya ini akan jadi orang baik. Sebaliknya malahan, dia yang terlalu baik sama saya. Dia yang selalu traktir saya setiap ke kantin sekolah, atau ongkos pergi nonton festival band. Dia yang baik karena mengerti saya pasti tak punya ongkos atau duit buat jajan. Siaaal, kok jadi mellow gini ya? Jadi kangen saya sama orangnya, hahaha…!

Intinya saya heran, dari mana orang-orang tahu bahwa saya orang baik? Saya tak tahu jawabannya. Dan saya juga tak butuh orang lain tahu bahwa saya orang baik, karena saya tahu pasti bahwa Allah Yang Maha Tahu pasti tahu bahwa saya orang baik. Nah, inilah yang paling penting.

Allah tahu saya orang baik, karena itu si teman digerakkanNYA kepada saya. Allah mempercayakan teman ini kepada saya. Allah percaya bahwa sayalah orang yang tepat yang bisa membantunya. Diberi kepercayaan oleh Allah itu suatu anugerah sekaligus mandat. Anugerah karena tak semua orang bisa memperoleh kepercayaan begitu saja. Apalagi kepercayaan dari Allah pula. Dengan segudang prestasinya yang mendunia saja, Pak Jusuf Kalla ‘gagal’ mendapat kepercayaan untuk jadi Presiden di Pilpres 2009 lalu, bukan? Padahal itu cuma butuh kepercayaan dari manusia saja.

Selain sebagai anugerah, kepercayaan dari Allah itu juga mandat. Diberi mandat oleh Allah itu juga bukan prestasi sembarangan lho. Allah memberi mandat karena tahu pasti bahwa saya sanggup mengembannya. Mustahil Allah tak tahu yang begitu, sebab sifatnya sebagai YANG MAHA TAHU. Jadi jika Allah memerintahkanmu melakukan sesuatu, yaa lakukan, donk! Karena dia pasti tahu bukan, kalau kamu sanggup melakukannya?

Segala yang menyangkut mandat memang tak mudah. Jangankan mandat dari Tuhan, amanat dari manusia saja banyak yang malah khianat terhadapnya. Koruptor adalah orang-orang yang serupa itu. Dan ternyata banyak sekali malah jumlahnya di Negara kita. Awalnya mereka adalah orang-orang terpercaya. Karena dipercaya itulah mereka peroleh mandatnya. Tapi sekali lagi itu kan cuma mandat dari manusia yang memang sifatnya mudah keliru. Pasti beda donk, dengan Tuhan Yang Maha Tahu…?

Saya diberi kepercayaan oleh Allah untuk membantu si teman. Saya tak mungkin berani mengecewakan Allah dengan mensia-siakan kepercayaanNYA itu. Saya juga akan laksanakan segala mandat yang Allah berikan karena pasti mampu melakukannya. Saya memang mampu melakukannya, tapi soal betapa beratnya, Insya Allah nanti saya ceritakan berikutnya saja, yaaa… :D

NB: maaf, masih dalam suasana mellow ini. Something runs bad :D

18 Okt 2013

Kalah Ngetop Sama Orang Gila

Posting Ke-15

Oke, lanjut post yang sebelumnya. Sampai mana tadi? Oh ya, sampai balik ke Dian, hahaha…!

Jadi, kembali keeee… Dian, hahaha…!

Oke maksudnya kembali ke orang gila yang harus dicemburui Dian, hahaha…!

Selain tulus, orang gila itu juga gembira selalu. Bisa jadi dia sedang sedih, lapar dan sebagainya, tapi semua itu bisa diimbanginya dengan tertawa. Selain senyum dan siul, tertawa adalah salah satu indicator dan alat ukur kegembiraan paling akurat. Melihat betapa mudahnya orang gila tertawa sungguh membuat saya iri terhadapnya. Menangis pun bisa sambil tertawa, itulah hebatnya orang gila. Butuh menguasai ilmu kejiwaan tingkat dewa untuk bisa mencapai kemampuan serupa itu. Dan saya YAKIN, bahwa ilmuwan, professor dan doctor paling pakar sekalipun di bidang tersebut, sulit untuk bisa mempraktekkannya sendiri. Ironisnya, merekalah yang dipercaya untuk mengurus orang gila yang baginya untuk soal-soal begitu ternyata cuma remeh belaka. HEBAT.

Terakhir, saya iri karena orang-orang gila itu ngetop. Saya pernah coba untuk riset soal kepopuleran saya pribadi, dan hasilnya sungguh miris. Saya pernah lakukan di ruang chat, Facebook, dengan teman cewek tentunya, hahaha…!
Berikut selengkapnya:

Raul                 :suit…suit…!
Teman              :hmm… ;)

Raul                 :masih ingat aku ga?
Teman              :Siapa ya? Sori, lupa :D

Raul                 :Kita kan dulu satu kelas. Situ kan dulu sering nyontek sama saya. Masa’
                        Ga ingat, sih? Durhaka nih, jadi teman.
Teman              :Sori! Beneran, ga ingat. Siapa sih?

Raul                 :Aku Raul. Yang dulu tamat langsung nyambung ke Batam STM-nya. Aku
                        Dulu sebangku sama si Anu. Pas dibelakangmu. Yang dulu pernah
                        Pernah dilemparin kapur sama Pak Benu. Trus kapurnya itu nyangkut
                        Nempel di gigiku, masih ga ingat juga?
Teman              :Waduuuuh, sori! Benar-benar ga ingat :D

Apa boleh buat, terpaksa pakai jurus andalan. Bawa nama bapak saya.

Raul                 :Aku anaknya si Cenu, yang sering adzan di mesjid itu.
Teman              :Oow, si Cenu yang bininya si Denu? Yang tiap malam nongkrong di
                        Warungnya si Enu? Yang kalo kemana-mana pake sepeda ontel. Yang
                        Suka begini sering begitu. Yang…bla…bla…

Raul                 :Iyya, benar. Dia bapakku (antusias menjawab)
Teman              :Tapi, kamu anaknya yang mana, yaaa?

Busyettt, Siraul Nan Ebat kalah ngetop sama bapaknya.Penasaran, saya langsung terpikir betapa payahnya elektabilitas saya. Iseng saya test saja sekalian dan hasilnya…

Raul                 :Kalau Si Fenu kenal ga?
Teman              :Si Fenu? Yang gila itu? Yang kemana-mana selalu pakai sarung itu, kan?
                        Yang selalu digangguin anak-anak SD. Yang kalo malam suka tidur di…
                        Yang…bla…bla…
                        Yaa, kenal donk! Semua orang juga kenal sama dia. Dari anak-anak 
                        Sampai nenek-nenek juga tau siapa itu si Fenu. Emang kamu siapanya?

*Kemudian hening

17 Okt 2013

Belajar Dari yang Gila

Posting ke-14

Saya iri sama orang gila. Bisa gila dalam tanda kutip, tapi bisa juga orang yang gilanya absolute. Saya pernah mengirim permintaan pertemanan dengan orang gila beneran di Facebook, sayangnya gagal karena kuota jumlah temannya sudah habis. Orang ini beneran gila. Sudah begitu ngetop pula. Dia seorang mantan Caleg yang gagal dan kemudian stress karena kegagalannya itu. Setiap update status melulu soal politik. Promosi Calon Presiden jagoannya, sekaligus mendiskreditkan calon-calon lainnya. Pintar sekali dia. Dari celah sempit dia bisa menemukan banyak logika yang unik dan terbalik dari yang kita duga. Itulah kenapa updetan si gila itu banyak yang menyukai, dan saya salah satunya. Saya sering merasa bodoh setiap kali terlanjur pencet tombol ‘like’, begitu melihat ada seorang lain yang berkomentar sebaliknya karena melihat dengan sudut pandang yang lain. Intinya: saya iri dan ingin berteman dengan orang gila.

Saya ini seorang stalker, pengakuan, hahaha…! Status2 provokasinya sungguh mengembirakan saya. Saya pernah semalaman full dan tak bisa tidur karena melototi timeline orang gila ini sejak awal karirnya di Facebook. Suatu yang bahkan tak pernah saya stalking, terhadap seorang Dian sekalipun, File per file saya buka. Setiap komen yang ada saya baca. Baiknya, ini tidak saja menggembirakan, tapi juga bagus untuk wawasan dan pendidikan politik kita.

Mestinya Dian tersinggung karenanya. Bahkan jika perlu Dian mestinya cemburu kepada orang gila tersebut. Ehh maaf, bukan jika perlu. Yang benar itu: saya sungguh berharap Dian akan cemburu, hahaha… *kode

Saya iri dengan orang gila. Banyak sebab, salah satunya sudah saya sebutkan diatas. Lainnya lagi karena mereka itu hebat dan kuat. Pernah melihat orang gila sakit? Entah apa yang mereka makan dari tempat sampah yang dikorek-koreknya itu. Mereka kuat berjalan kaki dari Simpang Jam sampai Batu Aji yang berkilo-kilo jauhnya. Saat terik kepanasan, kala hujan kebasahan, dan malampun tidurnya pasti kedinginan.Tidurpun tak pandang tempat, bisa di halte dan di emperan. Jangankan orangtua saya, Dian pun bakal menangis jika saya melakukan hal yang serupa itu semua, hahaha…!

Setelah saya pelajari, bisa jadi inilah salah satu bukti teori postif thinking yang banyak digembor-gemborkan buku motivasi dan pengembangan diri. Tak pernah sakit karena memang tak pernah memikirkan akan sakit. Orang gila tak pernah berpikir bahwa makanan di tempat sampah itu kotor, tak baik untuk kesehatan. Dia tak pernah berpikir bahwa remah manusia dan sudah dicicipi lalat itu tidak higienis. Dia tak pernah berpikir soal gizi, takut gemuk hingga jantungan dan sebagainya. Kalau untuk soal yang beginian, terus terang saya memang belajar dan mempraktekkannya dari orang gila.

Saya punya adik yang bekerja di Jamsostek. Suatu kali dia pernah bertanya soal Jamsostek saya. Dan dia sungguh terkejut saat tahu bahwa saya sama sekali tak pernah tahu soal ‘Kartu Berobat’. Saya memang tak pernah menggunakannya. Setelah lebih 3 tahun bekerja, saya bahkan tak pernah mengambilnya dari personalia perusahaan.

“Buat apa? Saya ga pernah sakit”, begitu alasan saya ketika ditanya kenapa kartu Berobat itu tak pernah saya ambil.

Sungguh, ini bukan soal takabur atau tidak. Jika sakit yaa, sakit saja. Yang penting jangan berpikir akan sakit, begitu teori saya.

“Mending tak usah diambil! Saya ikut asuransi, dan sekali bayar premi, besoknya saya langsung masuk rumah sakit”, abang saya ikut nimbrung.

Berpikir akan sakit lah yang membuat kita sakit. Itu teori sugesti. Sugesti di Timeline juga bahaya. Update soal jelek, bakal membuat aura sekitar bakalan ikut jelek. Makanya saya paling tak suka itu soal-soal galau dan semacamnya. Sugesti itu karakternya menularkan. Jadi mending updatenya soal-soal yang mengembirakan saja, setuju…? Selain menghibur, syukur-syukur bisa jadi amal, bukan?

Berikutnya lagi, orang-orang yang gila itu tulus. Apa saja yang mereka lakukan pasti atas kehendak mereka sendiri. Untuk hal ini, siapa saja mesti iri terhadapnya. Tak peduli bakal dikatakan gila oleh orang lain, jika ingin senyum dia akan tersenyum. Lepas, bebas tanpa ada tekanan dari siapapun. Mau diolok-olok budak2 kecik pun, orang gila ini yaa, tertawa saja.

Sungguh berbeda dengan saya. Jika saya galau, seorang Dian pun (balik lagi ke Dian, hahaha…!) belum tentu bisa menghibur saya. Jikalaupun saya tersenyum, itu pasti karena terpaksa. Sungguh, terhadap soal beginian saya lebih ingin belajar dari orang gila, bukan kepada seorang guru sekalipun, meski guru itu adalah Dian. Eee busyet, ini kok baliknya ke Dian melulu, sih…?

Lanjut, nanti aja yaa…! Ga’ konsen ini, hahaha…!

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...