Halaman

2 Agu 2017

Islam, Barat dan Dunia Pendidikan Kita

Kepentingan barat dan anti Islam terhadap Indonesia sangat besar. Segala cara dilakukan karena ketakutan akan kebangkitan Islam. Wilayah Arab dibuat bergolak selalu dan ricuh berkepanjangan. Sedang Indonesia yang jumlah penduduk muslimnya terbesar di dunia direcoki dengan segala program dan misi pembodohan. Kegagalan negara menunaikan amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa terjadi mulai dari pendidikan dasar dan usia dini. Propaganda Barat dikoar-koarkan via media untuk menghasut para orangtua agar tidak membebani anak dengan kemampuan calistung di bawah usia 7 tahun. Beragam isu dan dalih disodorkan seperti hak asasi dan kemerdekaan bermain anak semata untuk membenarkannya. Ini sesat. Di Amerika saja, begitu bisa bicara anak-anak di sana langsung bisa bahasa Inggris, hahaha...!

Menurut sebuah penelitian, pendidikan di Indonesia tertinggal 2 tahun dibanding Amerika. Saya lupa sumber risetnya, tapi masih ingat jelas tahu dari sebuah kultwit seorang psikolog Indonesia. (kapan-kapan saya cari lagi deh. Kalau tak salah dulu sempat saya klik bintang chipstory-nya, hahaha...)

Calistung penting diajarkan sejak dini pada anak-anak, apalagi muslim di Indonesia. Muslim 7 tahun sudah diberi tanggungjawab sholat. Itu tak bisa dilepaskan dari kemampuan calistung. Bisa baca, tulis maupun menghitung seperti jumlah rakaat shalat.

Dan, masyarakat Indonesia memang telah dirancang begitu rupa untuk gagal berkembang. Manusia 'berhenti tumbuh' pada usia 21 tahun. Dalam kalkulasi normal, usia segitu di Indonesia seseorang maksimal baru lulus dengan ijazah S1. Dengan gaya dan sistim pendidikan Indonesia, S1 bisa apa?

Sistim pendidikan kita anti dan gagal fokus pada preatasi. Aneka bidang study dan mata kuliah disuapkan paksa ke dalam memori siswa dan mahasiswa kita.

Di SMA, anak yang bernilai tinggi 'terpaksa' masuk jurusan IPA, walau sebetulnya dia lebih berbakat menulis misalnya. Diperparah pula dengan perlakuan diskriminatif dan amatiran guru dan tenaga pendidiknya. Anak IPA seperti anak emas yang selalu diperhatikan. Anak IPS diperlakukan seperti anak tiri yang diabaikan. Sedang anak bahasa dianggap tiada serupa (maaf) anak haram.

Hasil gaya pendidikan begitu jauh dari memuaskan. Berapa banyak anak-anak IPA tersebut sekarang yang jadi penemu atau ilmuwan? Alumni IPS yang jadi pengusaha dan pejabat korup? Berapa banyak kemudian mantan anak bahasa yang jadi penulis legendaris dan jurnalis yang idealis? Jauh lebih banyak malah kemudian yang jadi rakyat biasa yang bahkan gagal paham membaca dan menyadari fitnah media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...