Halaman

12 Agu 2017

Alangkah Tak Bermutunya Negeri Ini

Mari renungkan betapa tragisnya nasib rekayasa seorang AFI. Seorang penulis muda (yang dianggap) berbakat. Itu anak SMA sampai diundang berbicara di universitas sekaliber UGM. Saya beri waktu untuk bilang WOW...!

Menjadi bintang tamu di program talkshow tivi, selfie bareng para pejabat tinggi, termasuk diundang ke istana oleh kepala negara. Betapa kerennya anak ini!

Tapi sehebat-hebatnya Superman, bila gatal menggaruk juga. Ketahuan, salah satu tulisannya hasil plagiat. Setelah tak bisa lagi beri alasan memungkiri, akhirnya posting pengakuan. Tanpa permintaan maaf, lebih terkesan pembelaan dan malah cenderung arogan. Apes, postingan itupun ternyata hasil plagiat. Dan kali ini akibatnya lebih fatal. Rekam digital dan jejak silamnya dibongkar. Tak terhitung lagi jumlah posting plagiasinya. AFI berakhir sebagai sosok yang layak dibully.

Tak tahan dibully, akhirnya posting derita bully yang dialaminya. Konsisten, tetap dengan arogansi yang memang sudah menjadi karakter sejatinya. Posting video berbahasa Inggris gagap, dan itu blunder. Tak profesionalnya konsultan akting yang mendampinginya dengan segera memprovokasi pemirsa untuk mengusut pidato ganjilnya tersebut. Dan lagi-lagi ketahuan. Post videonya tersebut pun ternyata plagiasi sebuah 'video wasiat' seorang remaja yang bunuh diri.

Jujur, walau sangat jengkel dan jijik melihat lakunya, tapi saya sangat prihatin terhadapnya. Sekarang, setelah media sosial membongkar tipu dayanya, janganlah AFI ditinggal begitu saja. Mestinya seluruh 'pihak yang dulu membesar(-besarkan) AFI wajib bertanggungjawab terhadap masa depan AFI. Gagal dikelola, AFI bisa gila. Ini persoalan yang sangat serius.

Ada pula pertunjukan beras Maknyuss. Pertama dituding merugikan negara karena membeli gabah dari petani dengan harga lebih mahal. Aneh? Tentu saja, karenanya kemudian tudingan diganti. Dituduh menjual terlalu mahal. Tak terbukti lagi, ganti lagi tuduhannya. Dituduh monopoli, padahal marketnya cuma 2% pasar beras nasional. Tudingan terus berubah setiap kali data membantahnya. Dituding oplosan dan terakhir soal label yang itupun sepertinya juga akan bisa dibantah. Tapi politik membuat perkaranya mesti tetap diteruskan, walau logika publik sulit menangkapnya.

Lihat pula betapa menggelikannya skandal E-KTP. Segala cara dilakukan untuk menghentikan penuntasan perkaranya. Teror yang dialami penyidiknya Novel Baswedan. Kemudian 'mematikan' saksi kuncinya. Tak pernah ada bukti bahwa si saksi memang mati, malah banyak indikasi yang menyatakan sebaliknya. Tapi mereka mana mau peduli. Media-media itu melulu saja tebar hoax bahwa si saksi mati bunuh diri.

Bertebarannya setiap saat berita laku politik bodoh ini layak kita waspasai. Pertama, jangan-jangan kita pangsa media ini memang bodoh dan bisa dibodoh-bodohi. Berikutnya adalah kemungkinan telah punahnya rasa malu. Kombinasi bodoh dan tak tau malu itu sungguh memalukan. Alangkah tak bermutunya negeri ini. Sudah bodoh, tak tau malu pula, hiiiks...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...