Kita...!
Kitaaa...!
Kitaaaaaa....!
Klarifikasi:
Penggunaan kata 'Kita' pada orasi yang menggetarkan oratornya tersebut tidaklah sepengetahuan dan ijin saya. Kita tersebut tak termasuk saya.
Media menyebut Nusron Wahid sebagai Kyai Muda NU, padahal menurut saya beliau cuma seorang yang gagal mengkombinasikan pendapat kelirunya dengan melotot. Menurut saya, orang yang salah baiknya tak usah melotot. Itu bisa memancing kerusuhan.
Menurut saya Aqil Siraj atau Quraish Sihab itu sesat lagi menyesatkan. Tapi kaum liberal lebih suka menganggapnya sebagai Ulama Besar. Sayangnya, media lebih suka pendapat mereka ketimbang anggapan saya.
Jika saya mengkritik pemerintah, media memberi judul 'Siraul Nan Ebat Tuding Pemerintah bla bla bla', disertai narasi bahwa saya ini dulu pernah dipecat sebagai Ketua Kelas karena ketahuan merekayasa buku absen. Tapi jika saya mengapresiasi, judulnya di media 'Pengamat Puji Kebijakan Pemerintah'. Ditambahkan pula bahwa saya ini penulis berbakat yang dulu selalu jadi juara kelas, hahaha...!
Inilah jaman dimana seorang atau kelompok bisa dianggap mewakili orang atau kelompok yang lain. Saya jelas bukan rakyat korban Jonru, seperti yang dilaporkan pelapornya tersebut, sebab saya sama sekali tak merasa ditipu atau dirugikan oleh Jonru.
Saya juga seorang netizen, tapi ogah disamakan dengan netizen yang nyinyir pada aksi simpati dan dukungan terhadap etnis Rohingya. Ehh salah, mereka bukan netizen. Mereka itu binatang. Otak tiada, hati tak punya.
Konsultan bahasa yang menentukan meroket dan melorotnya elektabilitas politisi, yang membuat nilai tukar dan bursa saham naik turun. Maka terbukti keliru, bila dulu di sekolah anak-anak bahasa diremehkan. Atau jangan-jangan karena kurang 'perhatian' lah maka anak-anak bahasa itu sekarang menjadi pekerja media yang mengabdi pada ego dan kepentingannya sendiri? Media adalah penguasa dunia. Duh, betapa mengerikannya jika dunia ini dikuasai oleh orang-orang yang miskin moral, hiiii...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar