Entah bagaimana
historynya kenapa Siti Nurbaya jadi legenda di Indonesia. Saya tak punya
kemampuan untuk mengusutnya. Yang pasti sejarahnya terbukti sukses merubah pola
pikir masyarakat Indonesia. Tidak saja yang beragama Islam, pasangan non muslim
juga tak sungkan-sungkan menyebut nama besar Siti Nurbaya bila mereka
dijodohkan.
Tak dipungkiri
bahwa media informasi lah yang membentuk sikap, prilaku dan pola pikir manusia.
Selama ini, perselingkuhan bahasa dengan media
(termasuk tulisan dan mulut kita) telah banyak merusak ajaran Islam. Jilbab yang
awalnya wajib bergeser makna jadi hak karna bahasa yg diperkosa media. Wajib
artinya harus, sedang hak artinya bebas. Boleh ya, namun boleh juga tidak. Maka
pada saat ada larangan penggunaan jilbab para pendemo pun lantang bersuara,
“Jilbab adalah hak bagi setiap wanita muslim”, katanya.
Siapa yang salah? Kenapa mereka tak berani nyatakan bahwa berjilbab
adalah kewajiban bagi setiap muslimah? Sudah terang, mulut kita yang keliru.
Dan media-media mainstream begitu jeli melihat celah itu. Maka telinga dan mata
public akan dibombardir dengan pernyataan bahwa berjilbab itu hak setiap wanita
Islam.
Pun demikian dengan arti kata dewasa. Dewasa adalah predikat seorang
yang sudah punya tanggungjawab. Dalam hukum manusia, dimulai dari umur-umur
tertentu, berbeda tiap negaranya. Dalam hukum agama (Islam), itulah yg disebut
baligh. Berbeda juga tiap orangnya. Nah, kata ‘dewasa’ itulah yang diperkosa
hingga akhirnya melahirkan paham demokrasi. Akhirnya, perjodohan pun dianggap
sebagai bentuk penjajahan orangtua terhadap anaknya. Keinginan yang tak
selaras, membuat orangtua dianggap tak demokratis. Padahal orangtua pasti ingin
yang terbaik bagi anaknya, kan? Jangan lupa, Allah bahkan menunggu ridho
orangtua sebelum memberikan ridhoNYA, kan? Doa/kutukan orangtua jg paling
didengar Allah. Jadi mestinya, kalo kita ikut apa kata orangtua, Allah juga
pasti akan membimbing langkah kita, sebab sudah pasti di dalam prosesnya ada
doa orangtua kita. Kita tak bisa meraba masa depan. Tapi masa depan
terbaik menurut saya adalah mengabdi pada orangtua. Imbalan pahala berbakti
pada orangtua tentu bukan janji kosong dari Allah, bukan?Beriman kepada Allah mesti total bukan? Ga nanggung.
“Bertaqwalah kamu dengan sebenar-benarnya taqwa” (Al-Quran)
Apa saja keinginan orangtua mestinya dituruti. Setidaknya beliau
unggul pengalaman ketimbang kita. Dewasa karena merasa sudah matang berpikir?
Kata 'merasa' itulah persoalannya. Matang dan merasa matang beda, kan? Kesimpulannya: jika tak untuk kemungkaran, turuti semua
keinginan orangtua. Tanpa embel-embel kompromi, toleransi, apalagi
mengatasnamakan demokrasi, merasa sudah dewasa, hingga merasa sudah mampu
mendebat pilihan orangtua.
Media effects bukan cuma diterima generasi Halo Selebriti, lho? Pun
dengan orangtua-orangtua kita. Media-media mainstream yang rata-rata didominasi
Yahudi dan Nasrani gencar pelintir statemen-statemen dan situasi yang rawan
keliru. Mereka siarkan betapa mengharukannya melihat istri Rinto Harahap sholat
di samping peti mati suaminya yang jelas-jelas bukan muslim tersebut. Akibatnya
apa? *Mikir.
Betapa demokratisnya kehidupan keluarga salah seekor serigala ganteng
yang beberapa waktu lalu ditinggal mati Bapaknya yang muslim karena kecelakaan
motor. Padahal betapa tegas kegagalan sang bapak sebagai imam keluarga.
Akibatnya apa? *Mikir.
Ada artis yang diberi award karena tak gugurkan kandungannya walau
hamilnya sebelum nikah. WHAT…? Makin lama makin gencar saja proyek-proyek
konspirasi ini. Tahu pasangan yang meraih award pasangan paling romantic di
ajang infotainment Award bulan lalu? Alhamdulillah, bukan manusia. Pemenangnya
ternyata serigala yang ganteng dengan pacarnya, hahaha….! Walau saingannya
sudah menikah, sementara pasangan serigala tersebut statusnya masih pacaran,
hahaha…! Akibatnya apa? *Mikir.
Belakangan sudah ada yang mulai meributkan kelayakan RA Kartini
sebagai pahlawan emansipasi wanita, keabsahan Supersemar, termasuk protes dari
umat Islam Ambon dan Maluku sekitarnya soal identitas keagaamaan Kapitan Pattimura.
Kenapa semua terjadi? Pasti karena media yang mengacaukan sejarah, kan?
Begitukah pula dengan buku legendaris Siti Nurbaya?
Saya takkan menuding Marah Rusli sebagai antek perusak nilai-nilai
ajaran Islam. Saya berbaik sangka saja, Siti Nurbaya adalah pemikirannya yang
natural, murni hasil perenungannya dalam hidup bermasyarakat di kala itu. Tapi
Siti Nurbaya dibonceng pihak-pihak anti Islam? Sangat mungkin.
Sadarlah hai umat Islam! Ribut-ribut politik yang tak kunjung usai
inilah yang membuat aktivis Islam tak menyadari akan proyek-proyek besar anti
Islam yang diusung media-media mereka. Kita alpa akan bahwa makin banyak
serigala yang ganteng. Alpa akan keberadaan Ocid dan kawan-kawannya yang tiap
hari bukan saja menghina dan lecehkan tapi juga menjual Islam demi rating dan
popularitasnya.
Saya takkan menjudge pihak yang menolak perjodohan sebab nyatanya pengaruh
media bukan cuma buat mereka saja. Walau sudah tegas-tegas menyatakan murtad, orangtua
sang artis tetap menerima anaknya dengan sabar.
“Ini ujian Tuhan”, katanya.
Ujian Tuhan? Emangnya situ siapa sampai dengan PeDe begitu anggap
diri sedang diuji Tuhan? Yang diuji itu mestinya orang yang layak uji, kan? Apa
situ sudah merasa layak diuji Tuhan? *Mikir.
Itu karena mereka terlalu sayang anak.
“Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan! Harimau pun takkan
memangsa anaknya sendiri”, beragam kalimat indah mereka sodorkan untuk
berdalih.
Dari mana asalnya kalimat-kalimat indah tersebut? Dari mulut, kan?
Nah, mulut itu media atau bukan? Media lah yang merusak kalimat indah tersebut
jadi ngawur.
*Selamat Malam...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar