Panasnya situasi politik di Negara
kita mestinya tak perlu membuat kita ikut-ikutan panas pula. Tak semua gatal
butuh digaruk. Persoalan kita sendiri sudah banyak, jadi potensi masalah
sebetulnya tak perlulah pula dijadikan masalah baru.
Sahabat-sahabat saya yang cuma segelintir
itu SEMUAnya menganggap remeh buku saya, bahkan tanpa merasa perlu membacanya
sama sekali. Menganggap remeh buku saya berarti meremehkan saya juga. Rumus sodorkan
bukti jika diremehkan, lawan bila dilecehkan yang saya terapkan pun tak berarti
apa-apa sebab mereka juga tak berniat terhadapnya.
Ini sungguh berpotensi jadi
masalah. Bukan saja soal hubungan harmonis yang mungkin terganggu, semangat
saya pun bisa begitu. Tapi seperti biasa, dengan memandang dari sisi yang lain
saya malah makin bersemangat karenanya.
“Everyone want to beat you,
Winner!”, motivasi keren dari Ribas, penyanyi idola tetap membesarkan jiwa dan
semangat saya.
Banyak yang mengenal saya sebagai
si cuek pengguna ilmu besi. Bodoh amat dengan pandangan orang lain. Pandangan
orang tidak akan menjelaskan tentang kita sesungguhnya. Justru sebaliknya,
pandangan mereka itulah yang akan mempertegas siapa mereka sebetulnya.
“Jika kamu
gagal, sahabatmu akan sedih. Jika kamu sukses, dia akan makin sedih”, saya
pahami betul kalimat yang saya kutip sembarangan dari film Three Idiots ini.
Itulah kenapa, walau si Unda
Mifta sudah kembali jadi Sari Octavia, Lia Summersun balik jadi Yulia Mustika
dan bahkan Dian Bolobolo, ehh…! Tuh, kan Dian lagi L Saya sampai saat ini tetap
PeDe sebagai Siraul Nan Ebat. Toh, pada kenyataannya, walau tak dapat dukungan
sahabat, saya punya banyak ‘teman-teman asing’ yang mengapresiasi karya saya.
Buat apa meladeni mereka yang maunya dapat gratis, sementara banyak diluar sana
yang bersedia membayar, bahkan walau sebetulnya berhak pula dapat secara
percuma karena berbagai hal. Misalnya mereka yang pengikut, pembaca dan
pelanggan tulisan-tulisan elektronik saya. Mereka berhak donk, dapat versi
cetaknya?
Saya bangga sebagai orang
Indonesia. Persoalan serius seperti hukuman mati saja bisa ditanggapi dengan
penuh rasa humor. Protes Australia terhadap hukuman mati warganya dengan
mengungkit-ungkit bantuan tsunami Aceh ditanggapi penuh dengan rasa humor
berjamaah. Maka lahirlah Gerakan Koin Untuk Australia. Maka ada pula yang
mengusulkan diadakannya Istora Jilid II versi pejabat, antara Tony Abbot
melawan Jokowi sebagai sequel dari Istora pertama Panca vs Redin Paris.
Apa yang lucu dari kalimat ‘Di
situ kadang saya merasa sedih’? ‘Bukan Urusan Saya’? ‘Salam Gigit Jari’ dan
sebagainya. Kalimat biasa yang sungguh jauh dari unsur humor itu ternyata bisa demikian
menggembirakan kita, orang-orang Indonesia. Kenapa? Karena kita mampu mengelola
potensi persoalan menjadi property kegembiraan. Apa jadinya, jika kita tanggapi
serius protes dari Australia tersebut? Perang? Sangat mungkin. Mengembalikan bantuannya?
Bisa saja. Tapi tentu saja itu akan jadi persoalan baru yang takkan mudah
mengatasinya. Pertama, dan langsung saja kita sepakati bahwa hutang budi tak bisa
dibalas. Hutang materi, tentu saja mesti dikalkulasikan lagi berapa total
sesungguhnya bantuan yang mesti kita kembalikan tersebut. Begitu, kan?
Ujian berat yang diberikan Tuhan
tidak melulu untuk kita bereskan. Bisa jadi itu cuma agar kita makin kuat dalam
kesabaran. Masalah yang mematikan itu menghidupkan, asal kamu tidak mati. Jadi
jika kamu masih hidup, maka masalah itulah yang akan menumbuhkan, menguatkan
dan membuatmu jadi lebih hidup.
*Selamat Siang….!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar