Halaman

30 Agu 2014

Di-bully Keponakan




“Ihh…bau!”, katanya setiap kali saya lewat sambil menenteng-nenteng kaleng cat.

Saya tercekat. Tersinggung, marah dan malu sekaligus. Tersinggung tentu karena saya dianggap bau. Marah, karena yang mengatakannya adalah keponakan saya sendiri yang masih 4 tahunan, bersama dua orang rekannya yang lain yang masih TK. Malu, karena kejadian itu dilihat pula oleh seorang cewek yang masih muda dan cantik pula, yang kebetulan juga sedang ada di situ.

Saking marahnya, ingin rasanya saya menampar kanak-kanak sialan itu. Tapi saya urungkan. Buat apa repot-repot menampar jika dengan saya melotot saja sebenarnya sudah bisa buat mereka menjerit-jerit horror.

“Dasar anak-anak kurang ajar!”, begitu saja akhirnya saya mengomel.

Tapi tiba-tiba saya berpikir, benarkah mereka anak-anak yang kurang ajar? Keponakan saya itu ibunya Kepala Sekolah, yakni kakak sepupu saya sendiri. Paman, tante, kakek dan neneknya juga banyak yang jadi guru. Tinggalnya juga dalam lingkungan sekolah. Sedang dua temannya itu juga masih TK, murid sepupu saya itu tadi. Tak mungkin mereka kurang ajar. Yang benar malah mereka memang belum diajar, hahaha…!

Lalu, apakah dengan diajar mereka jadi tidak kurang ajar? Saya justru meragukannya, sebab dunia pendidikan kita biasanya malah mengajarkan sebaliknya. Bisa jadi mereka makin kurang ajar justru karena telah diajarkan… untuk tidak jujur. Ini point-nya.

Orang-orang dewasa justru mestinya sering belajar  soal kejujuran kepada kanak-kanak yang dunianya masih polos dari beragam konflik kepentingan. Ejekan yang saya terima itu pasti jujur keluar dari hati nurani mereka yang sebenarnya. Menyakitkan memang, tapi tentu begitulah memang kenyataannya.

“Waah, anak-anak ini mesti dijaga. Mereka adalah asset”, pikir saya.

Mereka anak-anak yang jujur. Sudah begitu berani pula. Imajinasi saya melayang makin jauh. Andai saja teman-temannya lebih banyak mereka tentu makin berani memperolok-olok saya.

“Sudah jelek, bau pula!”, begitu mungkin ditimpali teman-temannya.

“Jelek, bau dan jomblo juga!”, sahut temannya yang lain, dan sudah terbayang pula oleh saya gelak dan sorak tawa mereka.

Bersama orangtua kita jadi kuat, bersama teman kita jadi hebat dan bersama pacar kita jadi nekat, hahaha…!

Anak jujur lagi berani berkumpul bersama teman-temannya yang juga jujur dan berani pula? Waah, betapa hebat Indonesia berikutnya di tangan mereka. Mereka-mereka inilah yang mesti kita jaga. Sayangnya, tak jarang dunia pendidikan kita malah mengarahkan ke yang sebaliknya.

“Jika bertemu pengemis, bagaimana tindakan kamu?”.

A.   Memberi uang
B.   Tidak memberi
C.   Menolak secara halus.
D.   Menghardik dan mengusir
E.   Pura-pura tidak tahu.

Pertanyaan sejenis melulu kita jumpai mulai dari soal-soal kenaikan kelas, ujian tingkat SD, SMP, SMA, ujian masuk Perguruan Tinggi dan bahkan sampai kepada soal-soal test ujian bagi calon PNS. Jika kamu memilih jawaban A, maka kamu benar. Kamu lulus. Tapi meski lulus, kan belum tentu jujur. Bagaimana misalnya jika saat itu kamu sedang tak punya uang?

Orientasi pendidikan kita lebih kepada tampilan ketimbang isi. Terlihat mulia lebih dianjurkan ketimbang bersikap jujur. Lebih penting menjaga image ketimbang prilaku. Tak heran ketika akhirnya kita lebih beriman kepada pencitraan ketimbang percaya kepada kenyataan. Banyak pejabat yang suka menyumbang demi citra, padahal sumbangan itu menggunakan uang hasil korupsinya.

Tuhan itu Maha Baik. Hanya menerima yang baik-baik, melalui cara yang juga baik. Jalanan, gedung-gedung dan segala lainnya yang dibangun dari hasil korupsi takkan bawa berkah bagi penggunanya. Itulah jalan yang akhirnya jadi biang kemacetan dan rawan kecelakaan. Gedung-gedung bangunan yang merusak tata kota dan lingkungan. Jembatan dan rel kereta api yang baut-bautnya melulu dipreteli pencuri.

Jadi, terhadap kanak-kanak itu akhirnya saya cuma berharap dan berdoa semoga besok-besok saya masih tabah jika di-bully nya lagi, hahaha….!

*Sialan… ):
 

1 komentar:

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...