Saya tercekat. Tersinggung, marah dan malu sekaligus.
Tersinggung tentu karena saya dianggap bau. Marah, karena yang mengatakannya
adalah keponakan saya sendiri yang masih 4 tahunan, bersama dua orang rekannya
yang lain yang masih TK. Malu, karena kejadian itu dilihat pula oleh seorang
cewek yang masih muda dan cantik pula, yang kebetulan juga sedang ada di situ.
Saking marahnya, ingin rasanya saya menampar kanak-kanak
sialan itu. Tapi saya urungkan. Buat apa repot-repot menampar jika dengan saya
melotot saja sebenarnya sudah bisa buat mereka menjerit-jerit horror.
“Dasar anak-anak kurang ajar!”, begitu saja akhirnya saya
mengomel.
Tapi tiba-tiba saya berpikir, benarkah mereka anak-anak yang
kurang ajar? Keponakan saya itu ibunya Kepala Sekolah, yakni kakak sepupu saya sendiri.
Paman, tante, kakek dan neneknya juga banyak yang jadi guru. Tinggalnya juga
dalam lingkungan sekolah. Sedang dua temannya itu juga masih TK, murid sepupu
saya itu tadi. Tak mungkin mereka kurang ajar. Yang benar malah mereka memang
belum diajar, hahaha…!
Lalu, apakah dengan diajar mereka jadi tidak kurang ajar? Saya
justru meragukannya, sebab dunia pendidikan kita biasanya malah mengajarkan
sebaliknya. Bisa jadi mereka makin kurang ajar justru karena telah diajarkan…
untuk tidak jujur. Ini point-nya.
Orang-orang dewasa justru mestinya sering belajar soal kejujuran kepada kanak-kanak yang
dunianya masih polos dari beragam konflik kepentingan. Ejekan yang saya terima
itu pasti jujur keluar dari hati nurani mereka yang sebenarnya. Menyakitkan
memang, tapi tentu begitulah memang kenyataannya.
“Waah, anak-anak ini mesti dijaga. Mereka adalah asset”, pikir
saya.
Mereka anak-anak yang jujur. Sudah begitu berani pula.
Imajinasi saya melayang makin jauh. Andai saja teman-temannya lebih banyak
mereka tentu makin berani memperolok-olok saya.
“Sudah jelek, bau pula!”, begitu mungkin ditimpali
teman-temannya.
“Jelek, bau dan jomblo juga!”, sahut temannya yang lain, dan
sudah terbayang pula oleh saya gelak dan sorak tawa mereka.
Bersama orangtua kita jadi kuat, bersama teman kita jadi hebat
dan bersama pacar kita jadi nekat, hahaha…!
Anak jujur lagi berani berkumpul bersama teman-temannya yang
juga jujur dan berani pula? Waah, betapa hebat Indonesia berikutnya di tangan
mereka. Mereka-mereka inilah yang mesti kita jaga. Sayangnya, tak jarang dunia
pendidikan kita malah mengarahkan ke yang sebaliknya.
“Jika bertemu pengemis, bagaimana tindakan kamu?”.
A. Memberi
uang
B. Tidak
memberi
C. Menolak
secara halus.
D. Menghardik
dan mengusir
E. Pura-pura
tidak tahu.
Pertanyaan sejenis melulu kita jumpai mulai dari soal-soal
kenaikan kelas, ujian tingkat SD, SMP, SMA, ujian masuk Perguruan Tinggi dan
bahkan sampai kepada soal-soal test ujian bagi calon PNS. Jika kamu memilih
jawaban A, maka kamu benar. Kamu lulus. Tapi meski lulus, kan belum tentu
jujur. Bagaimana misalnya jika saat itu kamu sedang tak punya uang?
Orientasi pendidikan kita lebih kepada tampilan ketimbang isi.
Terlihat mulia lebih dianjurkan ketimbang bersikap jujur. Lebih penting menjaga
image ketimbang prilaku. Tak heran ketika akhirnya kita lebih beriman kepada
pencitraan ketimbang percaya kepada kenyataan. Banyak pejabat yang suka
menyumbang demi citra, padahal sumbangan itu menggunakan uang hasil korupsinya.
Tuhan itu Maha Baik. Hanya menerima yang baik-baik, melalui
cara yang juga baik. Jalanan, gedung-gedung dan segala lainnya yang dibangun
dari hasil korupsi takkan bawa berkah bagi penggunanya. Itulah jalan yang
akhirnya jadi biang kemacetan dan rawan kecelakaan. Gedung-gedung bangunan yang
merusak tata kota dan lingkungan. Jembatan dan rel kereta api yang baut-bautnya
melulu dipreteli pencuri.
Jadi, terhadap kanak-kanak itu akhirnya saya cuma berharap dan
berdoa semoga besok-besok saya masih tabah jika di-bully nya lagi, hahaha….!
*Sialan… ):
Wuahhh hihihihihiihihihi, pinter ^_^
BalasHapus