Tahun ajaran baru di Indonesia nyaris tak pernah sepi dari
konflik. Mulai dari akal-akalan pihak sekolah yang menarik iuran ini itu sampai
kepada orangtua yang ngotot anaknya diterima di SD, walau belum cukup umur. Ini
mengusik minat saya untuk membahasnya dari sudut pandang saya saja.
Secara kemampuan anak-anak yang lahir di era Crayon Sinchan ini
memang tumbuh sangat cepat. Pesatnya kemajuan teknologi informasi ikut berperan
membantu perkembangan kemampuan anak. Banyak mainan anak diciptakan khusus
untuk membantu cara belajar anak di usia Balita. Boneka saja sekarang banyak
yang sudah pintar berhitung dan bercakap Inggris. Sungguh saya merasa begitu
inferior di hadapan boneka mainan keponakan saya itu.
Itulah salah satu sebab kenapa banyak orangtua yang ngotot
agar anaknya diterima di SD, meski umurnya masih jauh dari cukup. Padahal itu
sungguh keliru. Secara mental, mereka justru jauh tertinggal di banding
kita-kita yang lahir di jaman komik Petruk dulu. Mereka dididik oleh tivi-tivi
berbayar, sedang tontonan anak jadul hanyalah satu stasiun tivi milik
pemerintah, TVRI. Tuntunan mereka adalah Halo Selebriti, sedang kita dulu
dibesarkan dengan MDA, dan didikan Subuh. Mereka tumbuh dengan belaian kasih
sayang semu bermotif uang oleh baby sitter , sedang kita dengan pukulan rotan
dan sapu lidi rasa kasih sayang dari orangtua.
Jika anak-anak sekarang mainannya game perang di gadget atau
perangkat komputer, jaman kita dulu malah perangnya betulan dengan peluru yang
juga betulan, meski terbuat dari biji-bijian. Anak-anak sekarang jika terkena
tembakan dan mati, tinggal klik new game. Jaman kami dulu, jika terkena
tembakan walau tidak mati, tapi tak jarang bikin heboh kampung karena jerit
tangisan. Tapi kesakitan itulah yang membuat mental kita jadi tangguh. Tangis
reda, ulang lagi main perang-perangannya, hahaha…!
Alasan karena sang anak sudah mampu berhitung dan berbahasa
Inggris itu salah kaprah. Apalagi jika maksudnya agar si anak tetap terpantau
karena orangtuanya sibuk dalam karir. Kasihan guru-guru SD (seperti Dian juga,
hiiik…hiiiks….*nangis, masih galau)mesti mendidik, mengajar dan mengasuh anak
sekaligus. Meski Inggrisnya lancar, tapi
saat ngompol tangisnya lah yang keluar. Meski pintar berhitung, godaan remeh
dari teman saja akan buat mereka meraung. Sekolah mestinya tempat anak-anak
belajar, bukan tempat penitipan anak. Dian itu guru, bukan pembantu, hah…!
*Tuh kan, Dian lagi…. *nangis lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar