SALAH BESAR jika pemerintah merasa bangga dan senang dengan
banyak pihak swasta yang peduli pendidikan anak dengan mendirikan banyak
tempat-tempat Bimbel. Pemerintah mestinya prihatin dan tersinggung karena itu
mengabarkan bahwa pemerintah gagal dalam memberdayakan sekolah. Para pemilik
bimbel itu layak diragukan ketulusannya, sebab mereka justru memanfaatkan rendahnya
tingkat kesejahteraan para guru. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru berakibat
nyata pada kontribusi mereka yang tidak optimal dalam mengajar. Dan
lembaga-lembaga Bimbel jeli melihatnya sebagai peluang.
Ohya, kenapa saya sering posting soal dunia pendidikan. Ini
tak ada hubungannya sama sekali dengan Dian, hahaha….! Saya suka belajar dan
peduli dengan dunia pendidikan. Saya tak bangga berteman dengan kebodohan. Jadi
jika ada yang berniat hapuskan UN, saya orang pertama yang akan menghadangnya.
Betapa cemennya generasi Halo Selebriti ini. Diwajibkan
mendapat nilai 5 saja sudah mengancam akan mendemo dan membakar sekolah. Saya
dulu jika ada saja yang nilainya di bawah 8 berarti bencana. Tak mungkin lagi
membaca lanjutan Wiro Sableng. Komik Petruk juga tak mungkin lagi diupdate.
Malah yang ada dan gagal saya sembunyikan terancam akan dibakar jika sampai
ketahuan sama orangtua saya.
UN itu misinya bagus, meski formatnya tidak tepat. UN versi
saya adalah semua mata pelajaran, termasuk yang sekunder seperti Olahraga,
Kesenian dan Keterampilan diujikan dan siswa diwajibkan mencapai nilai 9, tapi
di satu mata pelajaran saja. Outputnya akan menghasilkan siswa-siswa yang
berprestasi di bidangnya masing-masing. Lebih focus. Bakat dan kemampuan
merekapun lebih mudah diarahkan.
Format selama ini malah meneror siswa. Tak heran, meski
sejatinya termasuk anak pintar, ketika UN justru menjadi anti klimak, sebab
gagal lepas dari belitan terror UN. Format versi saya malah sebaliknya. Siswa pasti
akan terangsang dan terpacu untuk menjadi yang terbaik di mata pelajaran
favoritnya. Mustahil jika seorang siswa tak punya satu saja mata pelajaran
favorit, sebadung apapun dia.
Sebadung dan senakal apapun seorang siswa dia pasti punya
satu mata pelajaran favorit. Minimalnya dia pasti memiliki suatu keunggulan di
satu mata pelajaran tertentu. Dengan format UN versi saya ini semua bakat-bakat
dari tiap siswa akan terlihat. Guru dan orangtua tinggal mengarahkannya saja
agar bakat itu terus terasah dan berkembang.
Bakat yang sudah terendus sejak SD itu mesti terus
dikembangkan di tingkat berikutnya. Sekolah setingkat SMP dirombak menjadi
sekolah khusus, misalnya sekolah khusus Olahraga, sekolah seni, sekolah IPA
atau IPS dan sebagainya. MTs, sekolah khusus agama adalah contoh sukses sekolah
seperti ini.
Sulitkah mewujudkannya? Saya yakin tidak. Batam sebagai satu
Kabupaten/Kota memiliki puluhan sekolah negeri setingkat SMP. Bisa jadi lebih
dari 100 jika sekolah swasta ikut dihitung. Tinggal dirombak saja. SMP sekian
menjadi sekolah Olahraga. Yang itu menjadi sekolah Seni Budaya sedang yang di
sana jadi sekolah agama, misalnya. Apa sulitnya…?
Tingkat SMA pematangan. Semua dirombak menjadi sekolah
kejuruan. Apa bedanya dengan SMP kalau begitu? Tentu saja ada. Jika MAN sukses
sebagai sekolah lanjutan MTs, mestinya yang lain juga bisa, donk! Misalnya
lulusan sekolah Olahraga yang nilai domino-nya 9 saat UN melanjutkan di SMK
ambil jurusan main gaple. Anak sekolah Kesenian dan Keterampilan yang nilai
memasaknya di UN mencapai nilai 9, lanjut di SMK jurusan masak-memasak.
Begitu tamat SMK mereka sudah matang. Umur juga sudah masuk
di usia yang mestinya produktif, 19 tahun. Di Indonesia kita sudah mesti punya
KTP di usia 17 tahun atau sudah menikah. Jika program pendidikan kita masih begini
melulu, di usia 19 tahun saja mereka masih bingung, apa sebenarnya potensi
mereka. Bagaimana bisa produktif, jika seseorang justru tak mengerti
kelebihannya sendiri.
Tamat di usia 19 tahun, Indonesia sudah punya bibit-bibit
unggul di seluruh bidang. Piala AFF tinggal ambil wakil dari SMK jurusan
Sepakbola. SEA Games, Asian Games dan Olimpiade kita tak bakal kekurangan
atlet. Festifal film atau music, pameran budaya dan olimpiade seni dan sains
dan sebagainya, kita takkan pernah kekurangan talenta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar