Dihina
atau dipuji itu sama saja. Sama-sama mengandung bahaya. Seorang yang
selalu menabung penghinaan tiap hari bisa membuatnya menembaki siapa
saja. Kenyang dihina menjadikannya gelap mata. Karena gelap dia tak bisa
melihat,akhirnya semua jadi sasarannya. Tapi meski tak bisa melihat,
dia bisa menaksir akibatnya. Menghadapi bahaya dalam gelap mesti cepat
dan tegas. Ada opsi lain, tapi menembak diri sendiri lah resiko yang
dipilihnya.
“Terlalu banyak yang menghina saya,” keluh seorang musisi yang melulu mondar-mandir masuk tahanan.
Sebagai musisi, dia sebenarnya berprestasi. Karena berprestasi dia
banyak beroleh pujian. Mabuk pujian itulah yang menjadikannya lupa
diri. Lupa diri dampaknya tak kalah hebat. Gelap mata hanya membuat
seorang tak bisa melihat. Tapi betapa banyak orang buta dengan prestasi
kelas dunia. Dunia musik sendiri punya Stevie Wonder sebagai
prototipenya Tapi lupa diri, menghancurkan segalanya. Lupa membawa kunci
saja bisa merepotkan banyak orang. Apalagi jika yang dilupakan adalah
diri sendiri. Lupa bahwa diri adalah public figure. Yang bahkan bentuk
poninya saja bisa jadi objek berita, dan trending topic. Tapi karena
lupa diri karena mabuk dipuji, ruang tahananlah justru yang kerap jadi
pentas hidupnya.
Hinaan dan pujian itu abstrak. Penghargaan
dan pelecehan tak jelas rumusnya. Ada yang diberi gelar pahlawan karena
usahanya menampung banyak tenaga kerja. Meski perusahaan itu pula yang
menenggelamkan tiga kecamatan di Pulau Jawa. Ada yang besoknya jadi
pahlawan karena lansung mengundurkan diri begitu ketangkap nonton video
porno saat sidang paripurna. Tapi ada juga yang berabad-abad menunggunya
sampai sekarang, hanya karena dia meninggal saat masih dalam keadaan
jomblo.
Ada ekonom yang dicaci maki sebagai pencuri
uang negara. Ehh di luar negeri malah dipercaya sebagai manager Bank
Dunia. Ada ilmuwan pelopor pesawat udara di suatu negara, tapi di luar
negeri dihina sebagai pengkhianat bangsa.
Karena rumus dan
batasnya yang tidak jelas itu dia perlu diperjelas. Melihat hinaan dan
pujian hanya dari sudut pandang sendiri itu rawan kekeliruan. Menggeser
sudut pandang mungkin bisa membuatnya lebih jelas dan tegas lagi.
Ooo … ternyata dari sebelah sini terlihat ternyata ada rasa iri yang
membonceng dalam hinaan itu. Dari sebelah sana rupanya itu bukan pujian,
tapi peringatan akan kelengahan.
“Itu karena setiap hari
mereka memperhatikan kita, sementara kita tak pernah memperhatikan
mereka,” kata Pak Habibie menanggapi hinaan yang diterimanya.
Saya tak mendengar langsung komentarnya tersebut. Kurang lebih
begitulah kata berita. Tapi dari komentarnya tersebut, saya
bisa membayangkan wajah beliau saat itu. Kalaupun tidak sambil tertawa,
minimal dia pasti tersenyum. Jika dikelola dan dilihat dari sudut yang
pas, hinaan itu malah bisa mengembirakan.
Selamat Malam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar