Halaman

6 Jan 2013

Menggeser Sudut Pandang

Dihina atau dipuji itu sama saja. Sama-sama mengandung bahaya. Seorang yang selalu menabung penghinaan tiap hari bisa membuatnya menembaki siapa saja. Kenyang dihina menjadikannya gelap mata. Karena gelap dia tak bisa melihat,akhirnya semua jadi sasarannya. Tapi meski tak bisa melihat, dia bisa menaksir akibatnya. Menghadapi bahaya dalam gelap mesti cepat dan tegas. Ada opsi lain, tapi menembak diri sendiri lah resiko yang dipilihnya. 

“Terlalu banyak yang menghina saya,” keluh seorang musisi yang melulu mondar-mandir masuk tahanan.

Sebagai musisi, dia sebenarnya berprestasi. Karena berprestasi dia banyak beroleh pujian. Mabuk pujian itulah yang menjadikannya lupa diri. Lupa diri dampaknya tak kalah hebat. Gelap mata hanya membuat seorang tak bisa melihat. Tapi betapa banyak orang buta dengan prestasi kelas dunia. Dunia musik sendiri punya Stevie Wonder sebagai prototipenya Tapi lupa diri, menghancurkan segalanya. Lupa membawa kunci saja bisa merepotkan banyak orang. Apalagi jika yang dilupakan adalah diri sendiri. Lupa bahwa diri adalah public figure. Yang bahkan bentuk poninya saja bisa jadi objek berita, dan trending topic. Tapi karena lupa diri karena mabuk dipuji, ruang tahananlah justru yang kerap jadi pentas hidupnya. 

Hinaan dan pujian itu abstrak. Penghargaan dan pelecehan tak jelas rumusnya. Ada yang diberi gelar pahlawan karena usahanya menampung banyak tenaga kerja. Meski perusahaan itu pula yang menenggelamkan tiga kecamatan di Pulau Jawa. Ada yang besoknya jadi pahlawan karena lansung mengundurkan diri begitu ketangkap nonton video porno saat sidang paripurna. Tapi ada juga yang berabad-abad menunggunya sampai sekarang, hanya karena dia meninggal saat masih dalam keadaan jomblo.

Ada ekonom yang dicaci maki sebagai pencuri uang negara. Ehh di luar negeri malah dipercaya sebagai manager Bank Dunia. Ada ilmuwan pelopor pesawat udara di suatu negara, tapi di luar negeri dihina sebagai pengkhianat bangsa. 

Karena rumus dan batasnya yang tidak jelas itu dia perlu diperjelas. Melihat hinaan dan pujian hanya dari sudut pandang sendiri itu rawan kekeliruan. Menggeser sudut pandang mungkin bisa membuatnya lebih jelas dan tegas lagi. Ooo … ternyata dari sebelah sini terlihat ternyata ada rasa iri yang membonceng dalam hinaan itu. Dari sebelah sana rupanya itu bukan pujian, tapi peringatan akan kelengahan.

“Itu karena setiap hari mereka memperhatikan kita, sementara kita tak pernah memperhatikan mereka,” kata Pak Habibie menanggapi hinaan yang diterimanya.

Saya tak mendengar langsung komentarnya tersebut. Kurang lebih begitulah kata berita. Tapi dari komentarnya tersebut, saya bisa membayangkan wajah beliau saat itu. Kalaupun tidak sambil tertawa, minimal dia pasti tersenyum. Jika dikelola dan dilihat dari sudut yang pas, hinaan itu malah bisa mengembirakan. 

Selamat Malam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...