Di jaman serba cepat ini semua juga
dituntut serba cepat. Termasuk hati, mata, mulut, hidung, dan telinga
kita. Kekeliruan sering terjadi karena hati sering terlambat melibatkan
diri. Ketelepasan ngomong, terjadi karena hati ketinggalan oleh mulut.
Gosip, fitnah sering terjadi karena hidung, mata dan telinga keburu
mengambil keputusan akan berita kecil yang dicium, dilihat atau di dengarnya.
Hati selalu terlambat karena dia ada di dalam. Mata dan
indera lainnya lebih cepat tanggap karena dia ada di luar. Kekeliruan
sering terjadi karena meski berada di luar, mereka juga cuma tanggap terhadap
hal-hal yang terlihat dari luar. Itulah kenapa imej sekarang terasa
lebih penting ketimbang perilaku. Karena imej hanyalah gambaran terlihat
yang bisa ditangkap pancera indera kita. Karena berada di luar ia mesti
terlihat cantik agar indera tertarik. Itulah kenapa kentut lebih
penting disembunyikan ketimbang aurat. Karena orang yang mengumbar aurat
lebih menarik minat kita ketimbang mereka yang suka menebar kentutnya.
Padahal jika hati kita terlibat, dia pasti menolak kebijaksanaan yang
keliru ini. Umbar aurat dilarang agama, sedang pamer kentut? Bahkan di
tempat kerja saya tak ada peraturan yang melarangnya.
Sejak
dini sebenarnya kita sudah dididik menjadi pribadi yang mulia. Lebih
tepatnya sebagai pribadi yang terlihat mulia, meski cuma bohong belaka.
Ketika di ujian SD diberi soal apa yang mesti kita lakukan jika bertemu
pengemis, kita mesti jawab ‘memberi’. Jangan coba-coba menjawab ‘tak
memberi’ apalagi ‘mengusir’nya. Tak peduli entah anak SD seusia kita
sudah punya uang atau tidak, tapi saya mesti memberinya. Soal-soal
sejenis nyaris selalu ada dalam setiap ujian mulai dari tingkat SD, SMP,
SMA bahkan sebagai tes soal-soal jadi PNS. Bertahun-tahun begitu
soal-soal begitu selalu ada. Sudah jadi tradisi. Dan kita bangsa
Indonesia, paham betul apa itu tradisi. Bagaimana perlakuan kita
terhadap tradisi. Menolak sejalan dengan tradisi bisa dicampak dari
lingkungan masyarakat. Ibu Siami sekeluarga bahkan sampai diusir dari
kampungnya, karena anaknya menolak untuk memberikan contekan pada
teman-teman sekelasnya. Terlihat mulia jadi lebih penting, meski lewat
jalan tidak jujur. Karena itu kepergok ngupil lebih memalukan ketimbang
ketangkap korupsi. Toh, sambil diborgol-pun tetap bisa ber’dadah-dadah di depan kamera TV.
Penyesalan selalu datang belakangan. Karena yang menyesal itu hati.
Karenanya hati mesti selalu dilibatkan. Caranya? Yaa, hati mesti
didahulukan. Hati yang mesti mengambil sikap. Bukan mata, mulut, hidung
dan lainnya.
Imej hanyalah soal berurusan dengan manusia
lainnya. Sedangkan perilaku selain dengan manusia, ini adalah soal yang
juga menyangkut Tuhan. Menciptakan imej yang baik untuk menutupi
kelalukuan minus sama saja dengan menipu Tuhan. Sanggup menipu Tuhan?
Selamat Siang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar