Banjir hanya musibah bagi yang berkepentingan terhadapnya. Terhadap yang sedang butuh bepergian misalnya. Atau bagi mereka yang
mau pulang ke rumah. Tapi bagi pihak lain bisa saja adalah anugerah
dikala mereka sedang susah. Coba saja tanya sama para pemuda yang
mendadak jadi relawan, yang memberi petunjuk bagi mereka yang mau lewat.
Bahwa sebelah sini ada lobang besar, jadi jalannya lewat sini saja.
Seribu, dua ribu yang mereka terima itu adalah berkah banjir buat
mereka. Ada berkah di samping musibah. Laknat bagi yang lain, nikmat
bagi yang lain lagi.
Bagi yang melihatnya sebagai musibah, dia
akan meratap-ratap histeris. Jika perlu, orang lain dimaki-maki.
Ooo … ini gara-gara pemerintah suka begini begitu. Tapi bagi yang lainnya,
bisa jadi cuma melihatnya sebagai romantika biasa saja. Malah bagi
anak-anak, banjir bisa jadi arena main air yang menyenangkan. Bagi
sebagian lainnya, bisa jadi banjir adalah musim panen ikan liar yang
tiba-tiba saja muncul di sana-sini. Bahkan bisa jadi banjir adalah
panggung hiburan yang jarang bisa mereka nikmati. Melihat ada cowok yang
mendorong motor sambil di omel-omeli pacarnya karena si cowok
terpeleset melulu adalah hiburan langka yang mungkin cuma bisa mereka
nikmati di kala banjir. Atau melihat ibu-ibu kaum sosialita yang entah
merutuki mobilnya yang terperosok masuk lubang, atau meratapi
dandanannya yang mendadak konyol, basah, dan kotor.
“Ujaaaaang, kamu di mana? Jemput, CEPAAAAAT...!” katanya sambil menelpon pembantunya mungkin.
Hooo … semuanya sungguh hiburan gratis dan rekreasi hati yang ramah biaya.
Semua cuma soal sudut pandang. Jika melihatnya sebagai peluang, banjir
bisa jadi ladang rejeki musiman. Bahkan bagi para calon pejabat dan
politisi, banjir pun bisa jadi properti kampanye yang bernilai tinggi.
Jadi, tak perlu menyalahkan banjir. Dia toh hanya menjalankan aturan
yang telah dibuatkan untuknya. Bahwa sebagai air ia mesti mengalir dari
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Bahwa jika
wadahnya sudah tak kuat menampung, dia akan meluap. Begitu sederhana
hukumnya. Tapi lihatlah, betapa patuhnya dia akan hukum yang mengikatnya
itu. Demi mentaatinya, dia akan menghalau apa saja yang menghalang
tugasnya itu. Tumpukan sampah, rumah, mobil dan kendaraan lainnya,
bahkan jika perlu manusia dan hewan pun akan ikut diseretnya.
Hukum alam adalah hukum yang terkuat, karena Tuhan sendirilah perancang
hukumnya. Banjir, sebagai air amat memahaminya. Jika banjir demikian
taatnya, kenapa manusia tidak. Sudah tahu bakal banjir, hutan tetap
digunduli. Parit-parit, sungai tetap ditumpuki sampah. Jika terhadap
hukum Tuhan saja kita bisa demikian membangkangnya, apalagi jika cuma terhadap hukum buatan manusia.
Selamat Malam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar