Halaman

17 Jan 2013

Banjir yang Taat Hukum

Banjir hanya musibah bagi yang berkepentingan terhadapnya. Terhadap yang sedang butuh bepergian misalnya. Atau bagi mereka yang mau pulang ke rumah. Tapi bagi pihak lain bisa saja adalah anugerah dikala mereka sedang susah. Coba saja tanya sama para pemuda yang mendadak jadi relawan, yang memberi petunjuk bagi mereka yang mau lewat. Bahwa sebelah sini ada lobang besar, jadi jalannya lewat sini saja. Seribu, dua ribu yang mereka terima itu adalah berkah banjir buat mereka. Ada berkah di samping musibah. Laknat bagi yang lain, nikmat bagi yang lain lagi.

Bagi yang melihatnya sebagai musibah, dia akan meratap-ratap histeris. Jika perlu, orang lain dimaki-maki. Ooo … ini gara-gara pemerintah suka begini begitu. Tapi bagi yang lainnya, bisa jadi cuma melihatnya sebagai romantika biasa saja. Malah bagi anak-anak, banjir bisa jadi arena main air yang menyenangkan. Bagi sebagian lainnya, bisa jadi banjir adalah musim panen ikan liar yang tiba-tiba saja muncul di sana-sini. Bahkan bisa jadi banjir adalah panggung hiburan yang jarang bisa mereka nikmati. Melihat ada cowok yang mendorong motor sambil di omel-omeli pacarnya karena si cowok terpeleset melulu adalah hiburan langka yang mungkin cuma bisa mereka nikmati di kala banjir. Atau melihat ibu-ibu kaum sosialita yang entah merutuki mobilnya yang terperosok masuk lubang, atau meratapi dandanannya yang mendadak konyol, basah, dan kotor.

“Ujaaaaang, kamu di mana? Jemput, CEPAAAAAT...!” katanya sambil menelpon pembantunya mungkin.

Hooo … semuanya sungguh hiburan gratis dan rekreasi hati yang ramah biaya.

Semua cuma soal sudut pandang. Jika melihatnya sebagai peluang, banjir bisa jadi ladang rejeki musiman. Bahkan bagi para calon pejabat dan politisi, banjir pun bisa jadi properti kampanye yang bernilai tinggi.

Jadi, tak perlu menyalahkan banjir. Dia toh hanya menjalankan aturan yang telah dibuatkan untuknya. Bahwa sebagai air ia mesti mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Bahwa jika wadahnya sudah tak kuat menampung, dia akan meluap. Begitu sederhana hukumnya. Tapi lihatlah, betapa patuhnya dia akan hukum yang mengikatnya itu. Demi mentaatinya, dia akan menghalau apa saja yang menghalang tugasnya itu. Tumpukan sampah, rumah, mobil dan kendaraan lainnya, bahkan jika perlu manusia dan hewan pun akan ikut diseretnya.

Hukum alam adalah hukum yang terkuat, karena Tuhan sendirilah perancang hukumnya. Banjir, sebagai air amat memahaminya. Jika banjir demikian taatnya, kenapa manusia tidak. Sudah tahu bakal banjir, hutan tetap digunduli. Parit-parit, sungai tetap ditumpuki sampah. Jika terhadap hukum Tuhan saja kita bisa demikian membangkangnya,­ apalagi jika cuma terhadap hukum buatan manusia.

Selamat Malam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...