26 Jan 2013
Paradoks Sampah
25 Jan 2013
Merasa Keren itu Penting
*Quote macam apa ini? ;)
19 Jan 2013
Menipu adalah Profesi Prospektif
"Kosong-Delapan-Lima-Sekian-Sekian-...."
"Ya, Pak Raul benar!"
Hooo....!
17 Jan 2013
Hidup ini Sederhana
Haus? Yaa, minum!
Ngantuk? Yaa, tidur!
Rekreasi Hati
Jadi ada apa dengan Senin?
HAAAHG?
Tapi lain kali manggil saya jangan 'Oom ya, Dian! Panggil Abang aja, kan lebih mesra?
Banjir yang Taat Hukum
Hooo … semuanya sungguh hiburan gratis dan rekreasi hati yang ramah biaya.
Selamat Malam!
13 Jan 2013
Hati yang Ketinggalan Jaman
Selamat Siang!
6 Jan 2013
Kentut pun Hormat Padanya
”Raul, kamu kan bisa Corel Draw. Tolong dulu buatkan ini!”
Mestinya begitulah susunan kalimatnya jika menyuruh saya. Lebih ramah
terasa di hati. Bahkan saya merasa diapresiasi. Tapi karena atasan saya
itu keliru menempatkan kata, saya jadi terluka. Merasa disepelekan. Soal
remeh sebenarnya. Tapi bagi pribadi kecil seperti saya, besar
dampaknya. Mood langsung drop. Bekerja dalam keadaan begitu tak usah
berharap akan hasil yang bermutu. Padahal ini cuma soal keliru
menempatkan kata ‘kan’ saja. Tapi itulah yang membuat batin saya
terluka, merasa dihina.
Hidup ini rumit, jika dibuat rumit.
Jika hidup hanya untuk meladeni soal-soal remeh, dunia akan terasa
menyempit. Dunia mungkin takkan mengenal Einstein, jika hidupnya melulu
memikirkan soal rambutnya yang berantakan. Padahal saya jamin, di
jamannya belum ada tukang cukur, apalagi salon tempatnya bisa rebonding
rambut.
Untuk jadi orang besar memang butuh melakukan hal-hal
kecil. Tapi orang besar hanya melakukan yang besar-besar. Mereka tak
perlu melakukan hal-hal remeh. Apalagi jika cuma untuk untuk berpikir
soal-soal remeh. Apalagi membesar-besarkan yang kecil. Karena yang kecil
mesti hormat sama yang besar. Terhadap orang besar, kentut pun bahkan
menaruh hormat. Kentut hanya akan memperdengarkan bunyinya, tapi tidak
mengedarkan baunya. Karena bahkan kentutpun tahu cara menghormati
tuannya, Si Orang Besar.
Jika meladeni hinaan terhadap Pak
Habibie, bisa jadi kita sudah perang sama Malaysia. Badannya memang
kecil, tapi Pak Habibie itu orang besar. Tubuhnya memang kecil, tapi
otak semua. Baginya hinaan itu malah bisa jadi kegembiraan.
”Karena tiap hari mereka memperhatikan kita, tapi kita tak pernah
memperhatikan mereka.” Begitu tanggapannya. Sambil tersenyum pasti.
Gus Dur juga orang besar. Saya yakin, jika beliau masih hidup, menanggapi hinaan yang juga diperolehnya dia paling bilang,
”Gitu aja kok repot!”
Selamat Tahun Baru 2013, bagi yang membaca tulisan ini Selasa kemaren!
Menggeser Sudut Pandang
Dihina
atau dipuji itu sama saja. Sama-sama mengandung bahaya. Seorang yang
selalu menabung penghinaan tiap hari bisa membuatnya menembaki siapa
saja. Kenyang dihina menjadikannya gelap mata. Karena gelap dia tak bisa
melihat,akhirnya semua jadi sasarannya. Tapi meski tak bisa melihat,
dia bisa menaksir akibatnya. Menghadapi bahaya dalam gelap mesti cepat
dan tegas. Ada opsi lain, tapi menembak diri sendiri lah resiko yang
dipilihnya.
“Terlalu banyak yang menghina saya,” keluh seorang musisi yang melulu mondar-mandir masuk tahanan.
Sebagai musisi, dia sebenarnya berprestasi. Karena berprestasi dia
banyak beroleh pujian. Mabuk pujian itulah yang menjadikannya lupa
diri. Lupa diri dampaknya tak kalah hebat. Gelap mata hanya membuat
seorang tak bisa melihat. Tapi betapa banyak orang buta dengan prestasi
kelas dunia. Dunia musik sendiri punya Stevie Wonder sebagai
prototipenya Tapi lupa diri, menghancurkan segalanya. Lupa membawa kunci
saja bisa merepotkan banyak orang. Apalagi jika yang dilupakan adalah
diri sendiri. Lupa bahwa diri adalah public figure. Yang bahkan bentuk
poninya saja bisa jadi objek berita, dan trending topic. Tapi karena
lupa diri karena mabuk dipuji, ruang tahananlah justru yang kerap jadi
pentas hidupnya.
Hinaan dan pujian itu abstrak. Penghargaan
dan pelecehan tak jelas rumusnya. Ada yang diberi gelar pahlawan karena
usahanya menampung banyak tenaga kerja. Meski perusahaan itu pula yang
menenggelamkan tiga kecamatan di Pulau Jawa. Ada yang besoknya jadi
pahlawan karena lansung mengundurkan diri begitu ketangkap nonton video
porno saat sidang paripurna. Tapi ada juga yang berabad-abad menunggunya
sampai sekarang, hanya karena dia meninggal saat masih dalam keadaan
jomblo.
Ada ekonom yang dicaci maki sebagai pencuri
uang negara. Ehh di luar negeri malah dipercaya sebagai manager Bank
Dunia. Ada ilmuwan pelopor pesawat udara di suatu negara, tapi di luar
negeri dihina sebagai pengkhianat bangsa.
Karena rumus dan
batasnya yang tidak jelas itu dia perlu diperjelas. Melihat hinaan dan
pujian hanya dari sudut pandang sendiri itu rawan kekeliruan. Menggeser
sudut pandang mungkin bisa membuatnya lebih jelas dan tegas lagi.
Ooo … ternyata dari sebelah sini terlihat ternyata ada rasa iri yang
membonceng dalam hinaan itu. Dari sebelah sana rupanya itu bukan pujian,
tapi peringatan akan kelengahan.
“Itu karena setiap hari
mereka memperhatikan kita, sementara kita tak pernah memperhatikan
mereka,” kata Pak Habibie menanggapi hinaan yang diterimanya.
Saya tak mendengar langsung komentarnya tersebut. Kurang lebih
begitulah kata berita. Tapi dari komentarnya tersebut, saya
bisa membayangkan wajah beliau saat itu. Kalaupun tidak sambil tertawa,
minimal dia pasti tersenyum. Jika dikelola dan dilihat dari sudut yang
pas, hinaan itu malah bisa mengembirakan.
Selamat Malam!
Buku dan Garut (yang) Dodol
Alam
Indonesia begitu ramah pada tuannya. Batu saja bisa jadi
tanaman. Tak heran kalau Indonesia disebut negara kaya yang memiliki
hampir segalanya. Anehnya, meski punya segala, Indonesia malah
dikenal sebagai negara yang konsumtif. Memiliki, tapi melulu membeli.
Punya tapi masih beli itu bodoh.
“Jangan melihat buku dari sampulnya,” kata nasehat.
Tapi bagi orang bodoh, nasehat itu percuma. Selalu saja ada salah
pilih. Karena berpasangan dengan artis, maka jadilah dia yang dipilih.
Celakanya, artis ini juga keliru dalam memilih pasangan. Sadar telah
keliru tak lama artis ini pun memilih mengundurkan diri. Eee … sang
pasangan pun tak kalah. Jangankan berpasangan dengan artis, dengan
istrinya yang muda lagi cantik pun dia cuma tahan empat hari saja. Cerai.
“Spek-nya tak sesuai, jadi tak apa-apa donk, dikembalikan?" Kira-kira begitu kilahnya.
Benar-benar dodol ya, Garut ?
Bahkan bagi kebodohan, aneka pilihanpun tak meningkatkan peluang,
justru makin membingungkan. Sudah bodoh, bingung pula. Benar-benar
ruwet.
Nasehat soal buku itu jadi percuma. karena kita
cuma suka belanja, tapi soal membeli buku kita tak suka. Karena tak
akrab dengan dengan buku, kebodohanlah kemudian yang jadi pasangannya.
Berpasangan dengan kebodohan bukanlah status yang membanggakan.
Sepakbola dan Haji Romli
Hinaan itu
menguji kesabaran. Tak banyak manusia yang mampu lulus dari tiga soal itu
sekaligus: dihina, diuji dan bersabar. Sudah begitu, ketiganya
kompak pula mengeroyok sekaligus.
Pertama soal hinaan. Hinaan
itu unik. Makin diabaikan, dia makin membesar. Pertama-tama mungkin cuma
soal sepakbola. Terus berkembang jadi adu gengsi antar negara. Adu
gengsi belum cukup, meningkat jadi soal kehormatan dan harga diri bangsa.
Masih kurang, seluruh dunia musti tahu, upload di Youtube. Terasa masih
kurang, bahkan binatang seperti anjing pun kalau perlu dilibatkan.
Itu baru soal hinaan. Ada lagi ujian. Untuk lulus dari ujian itu
sungguh soal tak mudah Sebelum lulus mesti diuji dulu. Sebelum diuji,
mesti layak uji dulu. Padahal untuk jadi manusia layak uji saja itu juga
tak sepele. Mata saya sering berkunang-kunang melihat seribu perak
berpindah tangan ke tukang parkir. Meski sudah dihibur, batin saya perih
pada pengamen di warung-warung makan tenda kaki lima di pinggir jalan. Bukan
soal pengamennya, tapi soal seribuan yang keluar dari dompet saya. Jadi,
jika ada orang yang layak uji dan lulus pula, maka saya amat menaruh
hormat padanya.
Kesabaran? Ini yang terberat. Sejatinya
kesabaran itu tak terbatas. Ia mungkin menipis, tapi tak bisa habis. Di
titik inilah biasanya hukum alam bekerja. Si penghina mungkin akan
frustasi, capek, dan berhenti sendiri. Teman saya sampai sembilan kali
(katanya) mengikuti ujian untuk proses pembuatan SIM, tak lulus-lulus.
“Entah karena bosan atau karena kasihan, polisi itu akhirnya ‘meluluskan’ juga,” katanya.
Si Fandy di Film Kiamat Sudah Dekat akhirnya diterima jadi mantu oleh
Pak Haji Romli. Jika saya adalah si Haji Romli, sedari awal itu anak
sudah saya tolak. Tapi demi mengetahui kualitasnya, beliau malah
memilih untuk mengujinya. Dan celakanya anak itu lulus, pas di titik
kritis antara pasrah atau kalah. Rela atau pasrah, anak itu jadi
menantunya. Hukum alam bekerja dengan sendirinya. Kita sendiri tahu
hukum yang terkuat adalah hukum alam. Yang kuat akan bertahan. Dan orang
yang kuat adalah yang lulus dari ujian hinaan dan kesabaran.
Go Indonesia! Hancurkan Malaysia!
Neraka Sudah Dekat
Pelaku Bom : Lho! Lho! Kenapa saya dibawa ke sini, Pak? Saya kan udah dijanjikan sorga?
Malaikat : Siapa yang bilang kau akan masuk sorga?
Pelaku Bom : Tuhan yang janjikan sorga buat saya, Pak! Begitu kata senior-senior saya.
Malaikat : Kau percaya?
Pelaku Bom : Bapak ini gimana sih? Yaa saya percaya, donk! Saya kan orang beriman, Pak! Masa’ sama Tuhan ga’ percaya?
Malaikat : Maksud saya, kau percaya sama yg diomongin senior-senior kau itu?
Pelaku Bom : Hmm…entahlah, Pak! Bingung saya!
Malaikat : Pemilu kemaren kau nyoblos tak?
Pelaku Bom : Apa hubungannya sama saya nyoblos atau ga, Pak?
Malaikat : Banyak tanya, Kau ya? Jawab aja! Kau nyoblos atau ga?
Pelaku Bom : Ga nyoblos, Pak
Malaikat : Kenapa kau ga nyoblos?
Pelaku Bom : Saya ga percaya sama janji-janji mereka, Pak. Setelah jadi pemimpin mereka semua ingkar janji. Kata-kata mereka bohong semua. Ga bisa dipercaya.
Malaikat : Nah! Nah! Sama kata-kata pemimpinmu aja kau tak percaya. Kenapa kau lebih milih percaya sama kata-kata teroris? Senior-senior kau itu?
Pelaku Bom : Ttapi….
Malaikat : MASUUUK!
*tamat
xXx
Malaikat : Kok Pe-De sekali kau mau masuk sorga?
Pelaku Bom Solo : Saya mati syahid, Pak ! Bom Solo itu saya pelakunya.
Malaikat : Ooo...gitu ya! Berapa orang yang mati?
Pelaku Bom Solo : Setahu saya cuma saya sendiri, Pak. Tak sempat nonton berita saya.
Malaikat : Berarti kau itu mati konyol, bukan mati syahid, BODOH!
xXx
Pelaku Bom Solo : Senior-senior saya di mana, Pak?
Malaikat : Tuh, di neraka paling bawah.
Pelaku Bom Solo : Kalau saya nanti di mana, Pak?
Malaikat : Yaa, sama ! Di situ juga.
Pelaku Bom Solo : Waah, ga adil donk, Pak! Mereka kan korbannya banyak. Sedang saya yang mati cuma satu orang. Itupun saya sendiri.
Malaikat : Nah! Nah! Karena itu. Karena kau lebih bego. Udah bego mati konyol pula!
xXx
4 Hal Penting Dalam Menulis
Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...
-
Hi, Para Penggaruk semua! Apa kabar? Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat dan asyik selalu, ya! Aamiin...! Sebagai posting pembuka ...
-
Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...
-
Saat Eros mencipta sebuah lagu cinta, tentang Anugerah Terindah. Dan kau pun mulai meminta aku 'tuk mencipta sebuah lagu tentang cinta....