Salah satu kebiasaan keliru umat Islam yang berbahaya adalah
responnya terhadap bencana, terutama yang berskala besar. Tsunami, gempa
yang destruktif dan tentu saja termasuk beberapa bencana terakhir
seperti peristiwa tumbangnya crane di Mekah, tragedi Mina atau bencana
asap yang luar biasa ini.
Respon keliru pertama terkait mitos,
statistik sejarah. Maka apa saja, selagi punya kaitan sejarah akan
segera dihubung-hubungkan dengan bencana tersebut. Ini sebetulnya sangat
keliru.
Menurut saya (silahkan bantah, jika beda pendapat),
selain ilmu hukum yang cuma mengenal pasti benar atau pasti salah,
seluruh cabang dan jenis ilmu pengetahuan lainnya adalah mitos. Termasuk
di dalamnya Matematika yang selama ini kita kenal sebagai ilmu pasti.
Ilmu pasti versi saya adalah ilmu hukum, bukan matematika
Ilmu
pengetahuan adalah mitos yang disepakati melalui konsensus. Bila hasil
konsensus tak menyepakati bahwa ∏ adalah 22/7 atau 3.14, maka bisa jadi
nilai ∏ tak seperti yang kita kenal selama ini. Persoalan paling
mutakhir bahwa sebagai ilmu pasti matematika juga bisa diperdebatkan
beberapa waktu lalu membuktikannya. 6x4 atau 4x6…? Konsensus menyepakati
bahwa 1+1=2. Saya mesti mentaatinya, walau bahkan saya sendiri mampu
buktikan bahwa 1+1=3. Cek blog, jika penasaran, hehehe….
Mitos
akan berhenti begitu statistik tak lagi mendukungnya. Dulu-dulu, walau
ga dulu-dulu amat, setiap Aaron Ramsey mencetak gol untuk Arsenal, besok
atau lusanya pasti ada pesohor yang meninggal. Mulai dari Robin
William, Steve Job, Paul Walker, Osama bin Laden, Muammar Gaddafi sampai
kepada orangtua Julia Perez Ramsey terus mencetak gol, padahal Wiro
Sableng, Si Buta Dari Goa Hantu atau Oom Jin sudah duluan meninggal.
Statistik tak lagi mendukung. Mitos pun berakhir, dan akan segera dicari
dan temukan mitos baru sebab ilmu pengetahuan selalu berkembang. Nah,
kan…?
Ilmu pengetahuan selalu berkembang. Jika temuan terbaru tak
lagi sesuai maka akan dibuat konsensus baru demi ilmu pengetahuan itu
sendiri. Jadi mengkait-kaitkan bencana dengan statistik masa lalu adalah
keliru, walau mungkin tak berakibat fatal.
Tapi respon berikutnya
mulai berbahaya. Masih terkait mitos, tapi plus sikap apriori dan
antipati. Tak jarang pula kita menuding seorang sebagai kambing hitam
hanya karena statistik sejarahnya kebetulan mengiringi peristiwa
bencana. Maka begitu Jokowi pulang dan asap makin pengap, Jokowi ke
Mekah dan crane roboh dengan kejam kita pun menudingnya sebagai penyebab
aneka bencana tersebut.
Ini sama sekali tidak fair. Kebencian
terhadap seseorang sama sekali tak ada kaitannya dengan bencana yang
mengirinya sejarahnya. Saya sempat mempertanyakan kepada Jonru kenapa
menyalahkan Islam Nusantara, padahal yang ngutang ke Arab itu Jokowi.
Sumpah, saya tak melihat korelasinya. Sayang, bukannya dijawab, malah
saya diblokir, hehehe…!
Tak ada masalah, sebab saya sendiri bukan
followernya. Saya Cuma khawatir akan terjadi fitnah, sebab potensinya
banyak sekali. Pertama, dia blokir karena pikir saya pentolan JIN atau
JIL…? Dan itu keliru. Tapi kedua dan seterusnya lagi lebih bahaya. Dia
pikir saya anggota JIN atau JIL, kemudian update twit/status bahwa saya
adalah orang yang mesti diwaspadai. Dan maka jika pengikutnya mengamini,
betapa bahayanya fitnah ini.
Fitnah lebih kejam ketimbang
pembunuhan. Tapi yang lebih berbahaya adalah merespon bencana dengan
menuding dan menuduh Tuhan telah marah. Kesabaran Tuhan telah habis.
Astagfirullahaladziim…!
“Crane ini roboh, tragedi Mina terjadi
karena Allah marah atas kesewenangan para pemimpin dholim”, begitu
kurang lebih respon banyak pihak.
Lebih bahaya lagi, sebab
komentar tersebut justru datang dari para pesohor. Media-media anti
Islam pun tentu saja melihat ini sebagai berita bagus. Mereka akan
memuat besar-besaran dan mentertawai umat Islam. Bahwa Tuhan sudah marah
terhadap umat Islam. Umat Islam telah menuding dan menuduh Tuhannya
sendiri.
Betapa bahayanya. Ini sangat berbahaya. Betapa beraninya
manusia hina seperti kita menuding dan menuduh Tuhan? Padahal sudah
tegas perintah Al-Quran bahwa umat Islam mesti berbaik sangka
terhadapNYA. Kenapa kita malah menuding dan ,menuduh Tuhan sebagai biang
keladi aneka bencana ini.
Mari berpikir logis! Musibah crane,
tragedi Mina atau juga kabut asap ini. Kenapa kita menuduh Tuhan telah
marah. Apakah mungkin Tuhan marah terhadap hambaNYA yang telah jauh-jauh
datang untuk menemuiNYA…? Mungkinkah Allah marah terhadap anak kecil
korban asap yang belum punya tanggungjawab terhadap dosa? Bahkan,
kalaupun benar Tuhan marah terhadap pemimpin dholim, kenapa marahnya
sampai salah alamat begitu?
Allah itu Maha Pemurah, bukan Maha Pemarah. Jadi mari teman semua! Mari kita berhenti menuduh Tuhan…!
*Astagfirullahaladziim…!
6 Okt 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 Hal Penting Dalam Menulis
Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...
-
Hi, Para Penggaruk semua! Apa kabar? Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat dan asyik selalu, ya! Aamiin...! Sebagai posting pembuka ...
-
Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...
-
Saat Eros mencipta sebuah lagu cinta, tentang Anugerah Terindah. Dan kau pun mulai meminta aku 'tuk mencipta sebuah lagu tentang cinta....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar