Bahwa sejarah itu sangat penting
telah dikabarkan dengan sangat telak oleh insiden Blitar bergetar beberapa
waktu lalu. Tak tanggung-tanggung seorang Presiden dari negara sebesar
Indonesia jadi ‘korbannya’ sebab abai terhadap sejarah. Lalu mestikah kita
menyalahkan, apalagi sampai mem-bully pemimpin sendiri?
Tahan dulu, sebab beliau sendiri
adalah salah seorang korban. Salah seorang, sebab faktanya sangat banyak
ternyata yang pernah telah, sedang dan akan jadi korban dari sejarah yang
diabaikan. Korbannya bisa siapa saja, tanpa pandang bulu status social, jabatan
dan gelar akademis. Bahkan konon, gajah saja ogah terpeleset pada lobang yang
sama untuk kedua kalinya.
“Pengalaman adalah guru terbaik”,
kata orang-orang bijak.
Itu tentang sejarah. Acuh
terhadap pengalaman, abai terhadap sejarah sama saja dengan mengundang
kebodohan. Padahal perintah pertama bagi umat Islam adalah perintah untuk
belajar. Tiga kali seruan ‘Iqra’ adalah bentuk penegasan bahwa umat Islam mesti jauh dari kebodohan.
Kata sindiran semacam ‘afala ta’qilun’ atau afala tatafakkarun adalah termasuk
yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an. Perintah untuk berfikir dan
menggunakan akal.
Kemerdekaan pers yang
diproklamirkan aktivis reformasi tahun 1998 silam sebenarnya sangat membuka
peluang bangsa untuk maju dan menjauh dari kebodohan. Sayangnya begitu pers
merdeka, mereka malah berkhianat dan balik menjajah rakyat. Berita-berita
plastic dan informasi menyesatkan melulu mereka sodorkan ke telinga dan mata
audiensnya yang tentu saja memperparah level kebodohan masyarakat.
Padahal beberapa waktu sebelumnya,
beberapa saksi sejarah mulai gerah dan berani beberkan fakta yang disembunyikan dan dibelokkan
penguasa dan yang punya kepentingan. Mulai terdengar suara sumbang tentang
Supersemar atau peristiwa percobaan kudeta G30S/PKI. Aksi heroic Soeharto di
Serangan Umum 1 Maret 1949 pun mulai disebut-sebut sebagai pencitraan belaka
yang pada puncaknya kegerahan massa akhirnya timbullah peristiwa reformasi itu.
Reformasinya memang berjalan,
tapi jangan kira pihak-pihak yang berkepentingan tak bersiap sebelum dan
sesudahnya. Itulah kenapa pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
dihapuskan. Berlanjut kemudian pada pelajaran PMP dan PPKn. Akibatnya apa?
Bangsa tetap terbelenggu oleh kebodohan akibat sejarah yang tak pernah coba
diluruskan. Sebaliknya, media-media penguasa dan kepentingan terus tebarkan
kebencian terhadap pihak-pihak dan sosok yang masih peduli terhadap nasib
sejarah bangsa. Lihatlah apa yang dialami FPI misalnya, terus diberitan dengan
citra buruk. Padahal sesungguhnya, merekalah sosok pahlawan penting reformasi.
FPI adalah salah satu unsur PAMSWAKARSA, pasukan sipil yang bertugas
mengamankan Sidang Istimewa MPR saat reformasi kejatuhan Soeharto silam.
Aturan internasional, militer tak
boleh perang dengan sipil. 1 peluru yang dilepaskan aparat terhadap massa
demonstran adalah akses bagi masuknya intervensi asing. Indonesia akan jadi
seperti Mesir atau Irak sekarang. Pemerintahannya dibentuk asing yang dipimpin
Amerika, dan rakyat-rakyat yang kritis akan dituding sebagai pemberontak dengan
bantuan media-media besar milik mereka.
Beruntunglah kita masih punya
tokoh2 yang tulus membela NKRI, yang paham gelagat asing yang sudah bersiap di
Australia. Bersama TNI/POLRI mereka susun rencana, bentuk pasukan sipil yang
terdiri dari santri-santri pesantren dan ormas Islam lainnya, termasuk FPI.
Jadi kalaupun terjadi clash, itu adalah sipil vs sipil. NKRI tetap terjaga
utuh, sebab tak ada alasan bagi asing untuk masuk.
Selain FPI, pribumi juga mereka
pojokkan. Tahukah kamu? Sampai sekarang tak pernah jelas siapa saja etnis Cina
yang jadi korban perkosaan di Mei bersejarah tersebut. Ada? Sangat absurd,
sebab nyatanya sampai sekarang tak ada seorangpun yang melapor ke pihak
berwajib. Padahal imam mereka di Jakarta sekarang adalah etnis mereka, Ahok.
Selain itu, Islam yang
kekuatannya bangkit di penghujung era Pak Harto terus dirusak citranya. Lihat
apa yang dialami PKS, yang suka dan tidak mesti diakui sebagai partai paling
solid di Indonesia. Dihancurkan langsung di pucuk pimpinannya.
Memasuki era sosmed, perang
kepentingan tak pernah berhenti. Media-media tetap bungkam terhadap suara-suara
sumbang yang peduli bangsa (dan Islam). Kapitan Pattimura itu muslim yang taat.
Tapi seperti apakah kita mengenalnya selama ini? Tak ada yang coba meluruskan
seperti apa sebenarnya sosok Cut Nya’ Dien, orang terakhir yang angkat senjata
terhadap penjajahan sebelum kemerdekaan. Pasca Cut Nya’ Dien ditangkap 1905,
itulah saat Belanda utuh berkuasa di Indonesia, 1908. Benarkah sosok yang
selama ini kita kenal itu Cut Nya’ Dien? Seperti juga Nyi Ageng Serang? Masa’
ahli agama tak pakai jilbab?
“Cut Nyak Dien, berjilbab atau tidak, adalah
pahlawan dan contoh perempuan yang mengungguli zamannya sendiri. Dirinya,
menjadi contoh perempuan emansipatoris yang mendobrak budaya feodal
patriarkis.” tulis berita Tribunnews.
”Jilbaban atau tidak, beliau tetep pahlawan
besar dan saya pikir bisa menginspirasi wanita-wanita dr generasi ke generasi,”
tambahnya mengutip cuitan seorang netizen sekuler demi menyampaikan misi liberalisme
dan pluralismenya.
Pahlawan sejati bangsa mereka hitamkan.
Benarkah Gajah Mada yang bersalah dalam peristiwa Perang Bubat? Kenapa sosok
seperti Sentot Prawiradirja Alibasya tak pernah diangkat jadi Pahlawan
Nasional? Sebaliknya, sosok gadis penulis diary seperti Kartini mereka
agung-agungkan sebagai Pahlawan Nasional.
Kita sudah lupa dengan pelajaran sejarah. Apa
tujuan penjajah datang ke Indonesia. Gold, Gospel dan Glory, bukan? Mereka tak
sekadar berjualan dan cari kejayaan saja. Mereka juga berdakwah agama mereka.
Pemerintah yang disandera kepentingan pun tak
kuasa terhadapnya. Media-media Islam dibredel, sedang media provokator seperti
IslamToleran dibiarkan. Sosok-sosok pahlawan anti korupsi seperti Trio Macan
sampai 2 kali dibunuh dan terakhir dikriminalisasi, penjara. Terakhir,
cuitannya tentang Dahlan Iskan pun terbukti, bukan? Trio Macan dikriminalisasi
sebab membongkar konspirasi busuk donaturnya sendiri, pihak Telkom. Ayoo, mana
dulu yang membully Obor Rakyat….?
Selama pemerintah tak peduli akan sejarah,
jangan harap kualitas manusia Indonesia jadi lebih baik. Tak belajar dari
sejarah saja adalah bencana. Apalagi belajar dari sejarah yang keliru. Sejarah
yang keliru akan menjebak generasinya untuk berada dalam lingkaran kekeliruan
yang membelit siapa saja, termasuk sekaliber Presiden sekalipun. Dan saya sama
sekali tak bangga punya Presiden yang soal belajar saja kalah dengan seekor
gajah, hahaha….!
Selamat Pagi…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar