Gaya yang sok sabar, sok bijak dan sok iye dalam tulisan-tulisan
saya ternyata ada manfaatnya juga kala dihadapkan pada situasi yang
membutuhkannya. Inilah salah satu efek baik dari kebiasaan menulis.
Menjadikan sang penulis jadi pribadi yang lebih baik, minimal ketimbang
dirinya yang kemaren. Aneh rasanya mendengar ada orang yang menulis
tentang sabar bila sendirinya emosional dan sebagainya. Sebab penulis
punya tanggungjawab moral terhadap apa yang ditulisnya.
Hari itu
kami makan besar, nasi bungkus, hahaha…! Saat mulai bersiap menyuap saya
melihat ada seekor lalat mati tergoreng pada nasi bungkus jatah saya.
Padahal saya merasa tak pernah pesan nasi bungkus dengan lauknya lalat
goreng. Teman yang bertugas membelinya pun saya rasa masih belum cukup
gila berinisiatif pesankan lalt goreng buat saya. Dan yang saya tahu,
juga tak pernah ada penjual makanan dengan salah satu menunya adalah
lalat goreng. Jadi kesimpulan saya ini Cuma insiden biasa. Normal.
Karena saya anggap normal maka selanjutnya juga biasa saja. Tak ada yang
aneh, hahaha…!
Saya sering menulis bahwa tak semua gatal butuh
digaruk. Itulah dia sabar. Dan saat itu saya benar-benar dihadapkan pada
situasi sebenarnya yang butuh kesabaran dan kearifan seperti yang biasa
saya tulis. Problem hidup kita sendiri sudah banyak, maka tak perlu lah
pula menimbulkan masalah baru karena hal yang sebetulnya juga tak
perlu. Apalagi jika itu juga akan jadi masalah baru bagi orang lain
pula.
Bayangkan apa yang terjadi jika insiden lalat goreng itu
saya ceritakan saat itu juga pada teman-teman yang lain yang sedang
makan dengan lahapnya. Dugaan saya, acara makan besar itu akan bubar
segera. Keributan kecil akan terjadi, misalnya teman yang bertugas
membeli akan disalahkan teman yang lain. Tapi yang lebih gawat adalah
bayangan seram di depannya. Dimulai dari sekedar ngomel-ngomel dan
berlanjut pada ancaman boikot terhadap rumah makan tersebut. Itu sudah
bukan hal yang remeh lagi, sebab jika cerita sudah tersebar dari mulut
ke mulut, mouth by mouth, si pemilik rumah makan itu bahkan bisa
bangkrut, kan? Maka temuan lalat goreng itu cukup saya anggap sebagai
insiden biasa saja. Saya putuskan untuk mendiamkan insiden tersebut dan
lanjutkan makan, walau masih ada sedikit bayangan horror dari si lalat,
hahaha…!
“Ttt…tapi kan bisa bikin sakit perut?”
Kata
siapa? Berani taruhan dengan saya? Cobalah makan seekor lalat goreng dan
jika kamu sakit perut saya akan beri kamu kesempatan poto bareng dan
dapat tanda tangan gratis dari saya, mau? Lagipula, saya belum pernah
dengar ada orang yang mati sebab makan seekor lalat goreng, hahaha….!
Dan setahu saya, jika sudah digoreng maka semua bakteri yang terkandung
dalam seekor lalat aakan mati, bukan? Hahaha…!
Luar biasa
ternyata dampak sabar itu. Cukup dengan menyingkirkan sang lalat malang
itu, saya tetap bias makan dengan nikmatnya. Pun demikian dengan
teman-teman saya yang lain. Tapi yang lebih penting adalah si pemilik
rumah makan batal bangkrut, hahaha…!
Hahaha, menarik !!
BalasHapussaya pikir bang Raul masih beruntung ketemu lalat goreng, bukan lalat rebus..
Berarti punya pengalaman juga? Lalat rebus? hahaha....!
Hapus