Halaman

14 Mei 2015

Lalat Goreng

Gaya yang sok sabar, sok bijak dan sok iye dalam tulisan-tulisan saya ternyata ada manfaatnya juga kala dihadapkan pada situasi yang membutuhkannya. Inilah salah satu efek baik dari kebiasaan menulis. Menjadikan sang penulis jadi pribadi yang lebih baik, minimal ketimbang dirinya yang kemaren. Aneh rasanya mendengar ada orang yang menulis tentang sabar bila sendirinya emosional dan sebagainya. Sebab penulis punya tanggungjawab moral terhadap apa yang ditulisnya.

Hari itu kami makan besar, nasi bungkus, hahaha…! Saat mulai bersiap menyuap saya melihat ada seekor lalat mati tergoreng pada nasi bungkus jatah saya. Padahal saya merasa tak pernah pesan nasi bungkus dengan lauknya lalat goreng. Teman yang bertugas membelinya pun saya rasa masih belum cukup gila berinisiatif pesankan lalt goreng buat saya. Dan yang saya tahu, juga tak pernah ada penjual makanan dengan salah satu menunya adalah lalat goreng. Jadi kesimpulan saya ini Cuma insiden biasa. Normal. Karena saya anggap normal maka selanjutnya juga biasa saja. Tak ada yang aneh, hahaha…!

Saya sering menulis bahwa tak semua gatal butuh digaruk. Itulah dia sabar. Dan saat itu saya benar-benar dihadapkan pada situasi sebenarnya yang butuh kesabaran dan kearifan seperti yang biasa saya tulis. Problem hidup kita sendiri sudah banyak, maka tak perlu lah pula menimbulkan masalah baru karena hal yang sebetulnya juga tak perlu. Apalagi jika itu juga akan jadi masalah baru bagi orang lain pula.

Bayangkan apa yang terjadi jika insiden lalat goreng itu saya ceritakan saat itu juga pada teman-teman yang lain yang sedang makan dengan lahapnya. Dugaan saya, acara makan besar itu akan bubar segera. Keributan kecil akan terjadi, misalnya teman yang bertugas membeli akan disalahkan teman yang lain. Tapi yang lebih gawat adalah bayangan seram di depannya. Dimulai dari sekedar ngomel-ngomel dan berlanjut pada ancaman boikot terhadap rumah makan tersebut. Itu sudah bukan hal yang remeh lagi, sebab jika cerita sudah tersebar dari mulut ke mulut, mouth by mouth, si pemilik rumah makan itu bahkan bisa bangkrut, kan? Maka temuan lalat goreng itu cukup saya anggap sebagai insiden biasa saja. Saya putuskan untuk mendiamkan insiden tersebut dan lanjutkan makan, walau masih ada sedikit bayangan horror dari si lalat, hahaha…!

“Ttt…tapi kan bisa bikin sakit perut?”

Kata siapa? Berani taruhan dengan saya? Cobalah makan seekor lalat goreng dan jika kamu sakit perut saya akan beri kamu kesempatan poto bareng dan dapat tanda tangan gratis dari saya, mau? Lagipula, saya belum pernah dengar ada orang yang mati sebab makan seekor lalat goreng, hahaha….! Dan setahu saya, jika sudah digoreng maka semua bakteri yang terkandung dalam seekor lalat aakan mati, bukan? Hahaha…!

Luar biasa ternyata dampak sabar itu. Cukup dengan menyingkirkan sang lalat malang itu, saya tetap bias makan dengan nikmatnya. Pun demikian dengan teman-teman saya yang lain. Tapi yang lebih penting adalah si pemilik rumah makan batal bangkrut, hahaha…!

3 komentar:

  1. Hahaha, menarik !!
    saya pikir bang Raul masih beruntung ketemu lalat goreng, bukan lalat rebus..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti punya pengalaman juga? Lalat rebus? hahaha....!

      Hapus

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...