Halaman

29 Apr 2015

"Maafkan Saya Yaa, Anak Setan...!"

Umurnya baru menjelang 3 tahun. Sejak orangtuanya bercerai, ibunya pulang ke kampung asal dan dia tinggal bersama bapaknya. Kesibukan bapaknya membuat dia lebih sering bergaul dengan nenek, paman2 dan tante serta sepupu2 dari pihak bapaknya. Sebetulnya dia anak yang cerdas, jika dibanding dengan anak-anak usia sebayanya. Tapi seluruh simpati terhadap kecerdasan plus derita sebab perceraian orangtuanya seakan hilang jika sudah bicara soal kenakalannya.

Prestasi kenakalannya tak main-main. Bayangkan saja, di rental Playstation depan rumahnya, namanya sudah di-blacklist karena suka mengganggu pemain lain dan melempar-lempar barang apa saja yang ditemuinya. 

“Maaf yaa, Nek! Cucu nenek suka menganggu, membanting dan melempar-lempar orang2 di sini!”, kata pemilik rental PS itu kepada neneknya.

Seorang remaja putri yang kebetulan lewat di depannya pernah jadi korban, bajunya digunting. Si remaja itu cuma bisa menjerit minta tolong sebab walau belum 3 tahun tenaga si bocah itu bukan main kuatnya. Motor yang parkir depan pintu rumahnya saja pernah tumbang, saksi nyata tenaganya. Julukan sebagai ‘Anak Setan’ yang diberikan sepupu-sepunya rasanya cukup untuk menyimpulkan bagaimana nakalnya anak ini.

Pagi ini, saya yang jadi korban aksi nakalnya. Masih pagi, jam setengah tujuh-an saya yang tidur di rumahnya (Bapak dan pamannya adalah teman akrab saya. Sudah seperti saudara sendiri) dibangunkan dengan cara yang luar biasa. Entah pakai apa, kepala saya dipukul sekuatnya. Saya, yang walau belum pulih dari rasa kaget dan ngantuk juga langsung menebak siapa pelaku aksi kekerasan ini. Siapa lagi kalau bukan dia. Saya bangun bersiap balas menampar sehebat dendam saya. 

Dasar anak cerdas, rupanya dia juga sudah menaksir bahaya dari aksinya. Sebelum saya sempat bangun, dia buru-buru kabur. Tapi kaki saya bergerak cepat, dan…

Dari gedebuknya terasa sudah betapa kesakitan yang di deritanya. Apalagi beberapa detik kemudian meledak pula suara tangisnya. Panik, takut dimarahi nenek dan ayahnya saya pun berdiri, kabuuuuur, hahaha….!

Saya berhasil menyelamatkan diri, lari ke bengkel milik Bapaknya yang tak seberapa jauh dari rumahnya. Hari itu saya memang sedang ada kerjaan di sana. Maka sepagi itu saya buka bengkel dan langsung bekerja sendiri, sebab bapaknya juga masih ngorok, hahaha…!

Tak sampai sejam kemudian saya mendengar lagi suara anak itu.

“Oom, ini kopinya!”, katanya sembari menyodorkan teko berisi kopi panas. 

Di situ saya terdiam. Bermacam pikiran berputar di kepala saya. Betapa anak seumur itu ternyata tak sedikitpun menyimpan dendam. Betapa paradoksnya. Begitu dipukulnya tadi, bahkan insting saya saja sudah memerintahkan agar saya segera balas memukulnya. Ini sungguh persoalan tak remeh. Jika suatu kebiasaan buruk sudah bertransformasi menjadi tindakan spontan, betapa bahayanya. 

Sampai sekarang saya masih saja sibuk membicarakan, mengingat aneka kenakalannya bersama paman dan sepupu2nya. Sementara dia begitu cepatnya melupakan laku buruk saya terhadapnya. Entah betapa cepat waktu yang dibutuhkannya untuk memaffkan saya. Padahal saya sendiri tak pernah merasa perlu untuk meminta maaf.

Saya tak bersalah. Dia yang pertama memukul saya. Harusnya dialah yang meminta maaf. Lagipula kan ada aturan tambahan yang tegas: Yang muda yang minta maaf duluan. Maka sampai saat ini saya belum dan tak berani meminta maaf terhadapnya. Tapi mohon dengarkan, Hai Anak Setan….! Walau cuma berani lewat Facebook ini,

“Maafkan Oom, yaa…!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...