Umurnya baru menjelang 3 tahun. Sejak orangtuanya bercerai, ibunya
pulang ke kampung asal dan dia tinggal bersama bapaknya. Kesibukan
bapaknya membuat dia lebih sering bergaul dengan nenek, paman2 dan tante
serta sepupu2 dari pihak bapaknya. Sebetulnya dia anak yang cerdas,
jika dibanding dengan anak-anak usia sebayanya. Tapi seluruh simpati
terhadap kecerdasan plus derita sebab perceraian orangtuanya seakan
hilang jika sudah bicara soal kenakalannya.
Prestasi kenakalannya
tak main-main. Bayangkan saja, di rental Playstation depan rumahnya,
namanya sudah di-blacklist karena suka mengganggu pemain lain dan
melempar-lempar barang apa saja yang ditemuinya.
“Maaf yaa, Nek!
Cucu nenek suka menganggu, membanting dan melempar-lempar orang2 di
sini!”, kata pemilik rental PS itu kepada neneknya.
Seorang
remaja putri yang kebetulan lewat di depannya pernah jadi korban,
bajunya digunting. Si remaja itu cuma bisa menjerit minta tolong sebab
walau belum 3 tahun tenaga si bocah itu bukan main kuatnya. Motor yang
parkir depan pintu rumahnya saja pernah tumbang, saksi nyata tenaganya.
Julukan sebagai ‘Anak Setan’ yang diberikan sepupu-sepunya rasanya cukup
untuk menyimpulkan bagaimana nakalnya anak ini.
Pagi ini, saya
yang jadi korban aksi nakalnya. Masih pagi, jam setengah tujuh-an saya
yang tidur di rumahnya (Bapak dan pamannya adalah teman akrab saya.
Sudah seperti saudara sendiri) dibangunkan dengan cara yang luar biasa.
Entah pakai apa, kepala saya dipukul sekuatnya. Saya, yang walau belum
pulih dari rasa kaget dan ngantuk juga langsung menebak siapa pelaku
aksi kekerasan ini. Siapa lagi kalau bukan dia. Saya bangun bersiap
balas menampar sehebat dendam saya.
Dasar anak cerdas, rupanya
dia juga sudah menaksir bahaya dari aksinya. Sebelum saya sempat bangun,
dia buru-buru kabur. Tapi kaki saya bergerak cepat, dan…
Dari
gedebuknya terasa sudah betapa kesakitan yang di deritanya. Apalagi
beberapa detik kemudian meledak pula suara tangisnya. Panik, takut
dimarahi nenek dan ayahnya saya pun berdiri, kabuuuuur, hahaha….!
Saya berhasil menyelamatkan diri, lari ke bengkel milik Bapaknya yang tak seberapa jauh dari rumahnya. Hari itu saya memang sedang ada kerjaan di sana. Maka sepagi itu saya buka bengkel dan langsung bekerja sendiri, sebab bapaknya juga masih ngorok, hahaha…!
Tak sampai sejam kemudian saya mendengar lagi suara anak itu.
“Oom, ini kopinya!”, katanya sembari menyodorkan teko berisi kopi panas.
Di situ saya terdiam. Bermacam pikiran berputar di kepala saya. Betapa
anak seumur itu ternyata tak sedikitpun menyimpan dendam. Betapa
paradoksnya. Begitu dipukulnya tadi, bahkan insting saya saja sudah
memerintahkan agar saya segera balas memukulnya. Ini sungguh persoalan
tak remeh. Jika suatu kebiasaan buruk sudah bertransformasi menjadi
tindakan spontan, betapa bahayanya.
Sampai sekarang saya masih
saja sibuk membicarakan, mengingat aneka kenakalannya bersama paman dan
sepupu2nya. Sementara dia begitu cepatnya melupakan laku buruk saya
terhadapnya. Entah betapa cepat waktu yang dibutuhkannya untuk memaffkan
saya. Padahal saya sendiri tak pernah merasa perlu untuk meminta maaf.
Saya tak bersalah. Dia yang pertama memukul saya. Harusnya dialah yang
meminta maaf. Lagipula kan ada aturan tambahan yang tegas: Yang muda
yang minta maaf duluan. Maka sampai saat ini saya belum dan tak berani
meminta maaf terhadapnya. Tapi mohon dengarkan, Hai Anak Setan….! Walau
cuma berani lewat Facebook ini,
“Maafkan Oom, yaa…!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar