Halaman

17 Apr 2015

Revolusi Mental, Segera...!



Revolusi mental ternyata memang butuh disegerakan. Fakta betapa ada yang mati konyol, dibunuh hanya karena menghina bau badan seseorang setidaknya bisa dijadikan trigger oleh pemerintah, khususnya oleh Jokowi yang selama ini kita kenal sangat tangguh mentalnya.

Saya sangat bangga punya presiden hebat seperti Jokowi. Walau perawakannya kecil, kurus kerempang dan berasal dari kampung pula, Jokowi ternyata tangguh luar biasa. Setengah tahunan berkuasa bertubi-tubi kecaman, hinaan dan bully diterima tak mampu menggoyangnya. Terakhir, di acara besar yang diadakan oleh partai besar: Kongres PDIP beberapa hari lalu.

Bayangkan, ada seorang Presiden dari Negara sebesar Indonesia diundang ke satu acara hanya untuk dihina. Tanpa diberi waktu untuk bicara, pidato sama sekali. Berjalan, juga (maaf) di-pantat-i oleh seorang wanita. Tak boleh berjalan di depan sang ketua umum. Dihujat sebagai petugas partai dan lainnya. Faktanya, beliau malah tenang-tenang saja. Malah masih bisa cengengesan dan planga-plongo seperti yang biasa suka dilakukannya. Sungguh luar biasa mentalnya orang ini. Sangat tepat, jika beliau adalah pemimpin Revolusi Mental di negara ini.

Dihina itu sungguh luar biasa sakitnya. Jangankan baginya yang dihina langsung, sebagai rakyat yang tak dikenalnya saja saya sungguh marah. Jadi imajinasikan saja betapa sungguh sakitnya perasaan beliau saat itu. Pasti sungguh tak terperikan.

Jauh-jauh merantau ke Medan, betapa marahnya si Bujang yang asal Padang Panjang saat cuma dikasih pangkat Kopral. Si Murad yang pedagang kopi saja Kolonel. Padahal kopinya pun bukan kopi nomor 1. Si Barjo, bekas guru yang dipecat karena tak pernah masuk tapi tetap terima gaji, Letnan Kolonel. Nah si Lukman yang banyak cakap, yang lari tersuruk-suruk bila mendengar suara mortir, Mayor. Sedang dia, Si Bujang yang selalu maju ke depan biar peluru tu seperti rama-rama cuma dapat Kopral. Pangkat main-main saja sebetulnya, tapi betapa sungguh besar efek terhadap psikologisnya. Saking marah dan sakit hatinya, dia curi seragam sang Jendral pergi menyerbu ke markas Belanda untuk kemudian mati, dikubur dan sekarang dia sudah dimakan cacing, hahaha…!

Betapa banyak sejarah mengabarkan bahwa terhina itu bahaya. Sungguh satu pengalaman yang tak mudah bagi yang mengalaminya, bahkan bagi kalangan terpelajar sekalipun.

Terbang lintas benua, kuliah ke Amerika dan jauh dari orangtua dan kampung halamannya, mestinya mahasiswa asal Asia ini sudah sangat teruji mentalnya. Faktanya, pendidikan tinggi dan kuliah dengan fasilitas beasiswa pun tak mampu membuat mentalnya kuat dihadapan penghinaan. Tabungan penghinaan yang tiap hari dialaminya bukannya menjadi imunisasi mental, malah membuatnya buta hati dan gelap mata. Tak peduli rekan atau dosennya sendiri, semua ditembakinya.

Begitu besarnya efek bagi sebuah hinaan, jadi sangat layak jika saya angkat topi terhadap Jokowi. Dihadapnya saya jelas begitu inferior. Sebab, saat seorang bertanya alamat tanpa turun dari motornya saja saya  sudah memberinya arah yang keliru jauh dari tujuannya. Ternyata mental saya begitu kerdilnya, hiiiks…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...