Revolusi mental ternyata memang
butuh disegerakan. Fakta betapa ada yang mati konyol, dibunuh hanya karena menghina
bau badan seseorang setidaknya bisa dijadikan trigger oleh pemerintah, khususnya
oleh Jokowi yang selama ini kita kenal sangat tangguh mentalnya.
Saya sangat bangga punya presiden
hebat seperti Jokowi. Walau perawakannya kecil, kurus kerempang dan berasal
dari kampung pula, Jokowi ternyata tangguh luar biasa. Setengah tahunan
berkuasa bertubi-tubi kecaman, hinaan dan bully diterima tak mampu
menggoyangnya. Terakhir, di acara besar yang diadakan oleh partai besar:
Kongres PDIP beberapa hari lalu.
Bayangkan, ada seorang Presiden
dari Negara sebesar Indonesia diundang ke satu acara hanya untuk dihina. Tanpa
diberi waktu untuk bicara, pidato sama sekali. Berjalan, juga (maaf) di-pantat-i
oleh seorang wanita. Tak boleh berjalan di depan sang ketua umum. Dihujat
sebagai petugas partai dan lainnya. Faktanya, beliau malah tenang-tenang saja.
Malah masih bisa cengengesan dan planga-plongo seperti yang biasa suka
dilakukannya. Sungguh luar biasa mentalnya orang ini. Sangat tepat, jika beliau
adalah pemimpin Revolusi Mental di negara ini.
Dihina itu sungguh luar biasa
sakitnya. Jangankan baginya yang dihina langsung, sebagai rakyat yang tak
dikenalnya saja saya sungguh marah. Jadi imajinasikan saja betapa sungguh
sakitnya perasaan beliau saat itu. Pasti sungguh tak terperikan.
Jauh-jauh merantau ke Medan,
betapa marahnya si Bujang yang asal Padang Panjang saat cuma dikasih pangkat
Kopral. Si Murad yang pedagang kopi saja Kolonel. Padahal kopinya pun bukan kopi
nomor 1. Si Barjo, bekas guru yang dipecat karena tak pernah masuk tapi
tetap terima gaji, Letnan Kolonel. Nah si Lukman yang banyak cakap,
yang lari tersuruk-suruk bila mendengar suara mortir, Mayor. Sedang dia,
Si Bujang yang selalu maju ke depan biar peluru tu seperti rama-rama
cuma dapat Kopral. Pangkat main-main saja sebetulnya, tapi betapa sungguh besar
efek terhadap psikologisnya. Saking marah dan sakit hatinya, dia curi seragam
sang Jendral pergi menyerbu ke markas Belanda untuk kemudian mati, dikubur dan
sekarang dia sudah dimakan cacing, hahaha…!
Betapa banyak sejarah mengabarkan
bahwa terhina itu bahaya. Sungguh satu pengalaman yang tak mudah bagi yang
mengalaminya, bahkan bagi kalangan terpelajar sekalipun.
Terbang lintas benua, kuliah ke
Amerika dan jauh dari orangtua dan kampung halamannya, mestinya mahasiswa asal
Asia ini sudah sangat teruji mentalnya. Faktanya, pendidikan tinggi dan kuliah
dengan fasilitas beasiswa pun tak mampu membuat mentalnya kuat dihadapan
penghinaan. Tabungan penghinaan yang tiap hari dialaminya bukannya menjadi
imunisasi mental, malah membuatnya buta hati dan gelap mata. Tak peduli rekan
atau dosennya sendiri, semua ditembakinya.
Begitu besarnya efek bagi sebuah
hinaan, jadi sangat layak jika saya angkat topi terhadap Jokowi. Dihadapnya
saya jelas begitu inferior. Sebab, saat seorang bertanya alamat tanpa turun
dari motornya saja saya sudah memberinya
arah yang keliru jauh dari tujuannya. Ternyata mental saya begitu kerdilnya,
hiiiks…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar