Keliru sebetulnya bila kita
mengecam pemerintah Arab Saudi terkait eksekusi hukuman mati terhadap TKI di
sana. Pertama, karena mengecam eksekusi berarti mengecam qishash yang sesuai
dengan aturan Allah SWT. Benar, memaafkan adalah sikap mulia. Tapi juga benar
bahwa qishash adalah hak yang adil dan berkeadilan bagi si korban.
Seadil-adilnya sanksi hukum adalah membalas dengan setimpal pelanggaran hukum
yang dilakukan pelaku, termasuk di dalamnya rumus: nyawa dibayar nyawa
Selanjutnya, juga keliru bila
kecaman dan protes justru kita layangkan terhadap pemerintah dan atau Raja Arab
Saudi. Demi alas an apapun, protes itu sangat keliru. Raja Arab bukan Tuhan dan
pasti tersinggung bila dianggap Tuhan, tempat meminta pengampunan. Musyrik,
dosa tanpa ampunan. Bahkan beliau akan marah bila diminta melanggar ketetapan
Tuhan dengan hukum qishash, apalagi jika cuma demi manusia dan alas an kemanusiaan.
Tuhan tentu di atas segalanya, kan…?
Keliru berikutnya adalah juga tak
tepat bila dikatakan ahli waris korban tak bias menerima maaf. Bahkan walau
katanya lobi sudah dilakukan sejak jaman Gus Dur sampai pemerintahan Jokowi.
Sejak jaman gigi emas sampai era behel. Sangat mungkin ahli waris yang saat itu
belum baligh tak menegerti apa yang mesti dilakukan karena pendekatan metode yang
kita lakukan keliru. Lobi terhadap anak kecil mestinya lebih mudah, apalagi
jika dilakukan oleh para diplomat2 ulung yang bertugas melakukannya. Jika
gagal, mestinya pemerintah kitalah yang justru lebih instrospeksi diri.
Kan bisa saja misalnya sang anak
itu diajak ke Indonesia. Nikamati alam tropis, surge dunia yang mustahil bias didapatkan
di kampong tandus Arabnya sana. Dengan alam yang sejuk rasanya lebih mudah pula
untuk mengajaknya berdamai. Bila perlu angkat dia jadi warga kehormatan
Indonesia. Bawa ke Medan dan beri marga. Ajak ke Padang atau Jogja dan beri
gelar kehormatan dan kekeratonan. Bisa pula misalnya dia ditipkan di banyak
Production House untuk diajak syuting sinetron seperti anak-anak kecil lainnya laiknya
Wakwaw, Mancung, TeBe, Si Entong, Si Eneng dan lainnya. Tanggung seluruh biaya
hidup, sekolah dan kuliah gratis. Saya yakin itu bukan satu persoalan yang
serius bagi anggaran Negara. Tapi lebih jauhnya, sangat berpotensi untuk
menyelamatkan eksekusi terhadap pelaku, yakni TKI kita.
Keliru selanjutnya, kita juga tak
perlu meratapi nasib sang TKI. Jika benar itu dilakukannya karena membela diri,
eksekusi justru malah bagus buatnya. Insya Allah, eksekusi itu membuatnya mati
sebagai syuhada, aamiin…!
Hukum itu penghapus dosa. Mati
karena dihukum malah membuatnya mati dalam keadaan bersih, paling tidak dari
dosa pelanggaran yang membuatnya dihukum itu.
Kita mestinya mewaspadai
kepentingan politik. Keributan kecil ini akan dibesarkan oleh media yang
kebanyakan milik Yahudi untuk memecah belah dua negara kekuatan Islam. Setelah
media-media Islam dibredel, sangat aneh jika umat Islam malah ikut2an
memprovokasi pecahnya Arab Saudi dan Indonesia, 2 negara sebagai pusat Islam
dan Negara dengan jumlah penduduk muslimnya yang terbesar di dunia.
Ke depan, dengan banyaknya TKI
yang menunggu nasib serupa, mestinya pemerintah bukan tersingging karena
eksekusi dilakukan. Merasalah hina, sebab betapa banyak TKI kita memilih jadi
pembantu di Negara orang, ketimbang mengabdi di negeri sendiri. Atau malah
pemerintah bangga, sebab pembantu2 Indonesia, kebanyakan wanita berani jadi
pembunuh? Dan di negara orang pula?
*Selamat Petang…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar