Sudah 3 mingguan saya tak akrab
dengan motor itu. Dan entah kapan kami bisa rujuk lagi, hahaha….! Sejak tak
bersamanya, kemana-mana belakangan ini saya lebih suka naik bis. Yaa… Busway,
milik Pemko Batam itu. Bukan cuma karena harganya yang lebih ramah ketimbang
menggunakan jasa taxi, tapi kok rasanya saya lebih suka saja ya?
Bisa jadi karena suasana hati
saya yang masih mellow ini ya, hehehe…! Saya sudah lama tak bepergian naik
taxi. Saya tak tahu berapa tarifnya jika misalnya saya ingin pergi ke satu
tempat dan ini bisa memicu pertengkaran yang memalukan.
Saya ogah bertengkar, apalagi
jika persoalannya cuma karena uang seribu dua ribuan. Seribu atau dua ribu itu
sedikit saja. Tapi yang sedikit itu punya kuasa untuk menetapkan derajat
kemuliaan seseorang. Apakah orang itu layak dipanggil Boss, Tuan dan lainnya,
atau malah setara dengan aneka binatang haram seperti (maaf) babi, anjing,
monyet dan bahkan (sekali lagi maaf), pantat.
Sesekali, saat sedang punya
rejeki lebih cobalah melakukan simulasi
kecil seperti misalnya melebihkan bayaran tukang parkir, pengamen,
tukang ojek atau malah terhadap pengemis. Rasakan saja sensasinya. Kita tidak
saja akan dianggap sebagai Boss, Raden, Tuan tapi biasanya mereka juga akan
mendoakan kita dunia akhirat.
“Makasih yaa, Boss!”, katanya
sambil menghentikan kendaraan lain demi melapangkan jalan saya.
“Makasih banyak yaa, Tuan!
Mudah2mudahan Allah selalu melapangkan rejeki Tuan, aamiin!”, doa yang
diaminkannya sekaligus.
“Makasih yaa, Den! Semoga selamat
sampai tujuan!”
Untuk menyempurnakan rekreasi
hati tersebut cobalah juga melakukan yang sebaliknya. Misal tarif parkir
biasanya 1000, kasih 500 saja. Agar lebih seru dan dramatic, tambahkan juga
omel-omelan seperlunya. Dan lihat sendiri bagaimana sungguh besarnya arti
limaratus, seribu atau dua ribu itu.
Saya sering praktekkan hal2
begitu, jika sedang punya sedikit lebih,
termasuk saat saya bepergian menggunakan jasa taxi. Nah persoalannya sekarang, saya sedang
kekurangan. Itulah kenapa saya lebih suka naik bis, semata demi menghindari
perdebatan yang tak perlu dengan supir taksi Batam yang terkadang memang
seenaknya mematok harga.
Pengalaman naik bis juga seru.
Saya merasa jadi lebih merakyat, hahaha…! Maksudnya begini, ada banyak
kesempatan bagi kita untuk lebih bersosialisasi, saling bantu dan merepotkan
dengan yang lainnya.
Hari itu saya dapat duduk di
bangku kosong terakhir, di deretan paling belakang. Di sebelah saya seorang
anak SMP. Di depan kiri saya seorang bapak pegawai Pemko (kelihatan dari baju
dinasnya, hehehe….!) yang sedang asyik dengan Hpnya.
Di halte berikutnya penumpang
turun naik. Tapi lebih banyak yang naik ketimbang yang turun. Bangku sudah
terisi penuh dan beberapa penumpang yang baru naik terpaksa berdiri, termasuk
seorang ibu yang walau belum terlalu tua, tapi tetap saja seorang wanita. Layak
didahulukan. Saya berdiri, dan mempersilahkan ibu itu untuk duduk. Normal saja,
tak ada istimewanya.
Di perhentian berikutnya ibu itu
turun dan saya berkesempatan untuk kembali duduk, sampai di halte berikutnya
lagi. Di situ naik pula seorang ibu yang menggendong putra (putrinya?). Saya
kembali berdiri, hendak memberikan tempat duduk padanya, tapi dicegah, oleh
anak SMP yang duduk di sebelah saya itu.
“Biar aku aja, Bang!”, katanya
kemudian berdiri dan mempersilahkan saya untuk tetap duduk.
Apa yang saya rasakan saat itu.
Merasa Ge-eR karena ‘berhasil’ memberi teladan pada anak SMP itu? Bukan! Sama
sekali bukan? Saya malah sedih, menyadari kenapa pegawai Pemko yang duduk di
kiri depan saya itu seperti tak merasakan apa2 melihat proses social begitu.
Mestinya dialah yang pertama kali berdiri, bukan saya apalagi anak SMP itu. Ibu
itu berdiri tepat di sampingnya, sedang saya dan anak SMP itu agak jauh di
belakang. Bukankah mereka yang seharusnya memberi tauladan? Ing Ngarso Sung
Tulodo. Ing Madyo Mangun Karso. Tut Wuri Handayani.
Kita marah saat Adinda mengomel
di Path, memaki-maki seorang ibu hamil yang mesti diberinya tempat duduk di
kereta. Tapi dia mengomel cuma di dunia maya. Di jejaring social, Path.
Sementara di kehidupan nyata, tak bisa kita pungkiri bahwa mereka2 yang
mestinya memberi teladan juga tak lebih baik dari itu. Ekspektasi kita yang
terlalu tinggi, berharap mereka jadi pelayan rakyat. Padahal, jangankan untuk
melayani, sekadar bisa diteladani saja mereka tidak layak.
*Moral kisah: bahwa jika ingin
bisa tetap duduk saat naik bis, sibukkan saja diri dengan gadget anda,
hahaha….!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar