Halaman

18 Nov 2014

2000-an dan Kedudukannya

Sudah 3 mingguan saya tak akrab dengan motor itu. Dan entah kapan kami bisa rujuk lagi, hahaha….! Sejak tak bersamanya, kemana-mana belakangan ini saya lebih suka naik bis. Yaa… Busway, milik Pemko Batam itu. Bukan cuma karena harganya yang lebih ramah ketimbang menggunakan jasa taxi, tapi kok rasanya saya lebih suka saja ya?

Bisa jadi karena suasana hati saya yang masih mellow ini ya, hehehe…! Saya sudah lama tak bepergian naik taxi. Saya tak tahu berapa tarifnya jika misalnya saya ingin pergi ke satu tempat dan ini bisa memicu pertengkaran yang memalukan.

Saya ogah bertengkar, apalagi jika persoalannya cuma karena uang seribu dua ribuan. Seribu atau dua ribu itu sedikit saja. Tapi yang sedikit itu punya kuasa untuk menetapkan derajat kemuliaan seseorang. Apakah orang itu layak dipanggil Boss, Tuan dan lainnya, atau malah setara dengan aneka binatang haram seperti (maaf) babi, anjing, monyet dan bahkan (sekali lagi maaf), pantat.

Sesekali, saat sedang punya rejeki lebih cobalah melakukan simulasi  kecil seperti misalnya melebihkan bayaran tukang parkir, pengamen, tukang ojek atau malah terhadap pengemis. Rasakan saja sensasinya. Kita tidak saja akan dianggap sebagai Boss, Raden, Tuan tapi biasanya mereka juga akan mendoakan kita dunia akhirat.

“Makasih yaa, Boss!”, katanya sambil menghentikan kendaraan lain demi melapangkan jalan saya.

“Makasih banyak yaa, Tuan! Mudah2mudahan Allah selalu melapangkan rejeki Tuan, aamiin!”, doa yang diaminkannya sekaligus.

“Makasih yaa, Den! Semoga selamat sampai tujuan!” 

Untuk menyempurnakan rekreasi hati tersebut cobalah juga melakukan yang sebaliknya. Misal tarif parkir biasanya 1000, kasih 500 saja. Agar lebih seru dan dramatic, tambahkan juga omel-omelan seperlunya. Dan lihat sendiri bagaimana sungguh besarnya arti limaratus, seribu atau dua ribu itu.

Saya sering praktekkan hal2 begitu,  jika sedang punya sedikit lebih, termasuk saat saya bepergian menggunakan jasa taxi.   Nah persoalannya sekarang, saya sedang kekurangan. Itulah kenapa saya lebih suka naik bis, semata demi menghindari perdebatan yang tak perlu dengan supir taksi Batam yang terkadang memang seenaknya mematok harga.

Pengalaman naik bis juga seru. Saya merasa jadi lebih merakyat, hahaha…! Maksudnya begini, ada banyak kesempatan bagi kita untuk lebih bersosialisasi, saling bantu dan merepotkan dengan yang lainnya.

Hari itu saya dapat duduk di bangku kosong terakhir, di deretan paling belakang. Di sebelah saya seorang anak SMP. Di depan kiri saya seorang bapak pegawai Pemko (kelihatan dari baju dinasnya, hehehe….!) yang sedang asyik dengan Hpnya.

Di halte berikutnya penumpang turun naik. Tapi lebih banyak yang naik ketimbang yang turun. Bangku sudah terisi penuh dan beberapa penumpang yang baru naik terpaksa berdiri, termasuk seorang ibu yang walau belum terlalu tua, tapi tetap saja seorang wanita. Layak didahulukan. Saya berdiri, dan mempersilahkan ibu itu untuk duduk. Normal saja, tak ada istimewanya.

Di perhentian berikutnya ibu itu turun dan saya berkesempatan untuk kembali duduk, sampai di halte berikutnya lagi. Di situ naik pula seorang ibu yang menggendong putra (putrinya?). Saya kembali berdiri, hendak memberikan tempat duduk padanya, tapi dicegah, oleh anak SMP yang duduk di sebelah saya itu.

“Biar aku aja, Bang!”, katanya kemudian berdiri dan mempersilahkan saya untuk tetap duduk.

Apa yang saya rasakan saat itu. Merasa Ge-eR karena ‘berhasil’ memberi teladan pada anak SMP itu? Bukan! Sama sekali bukan? Saya malah sedih, menyadari kenapa pegawai Pemko yang duduk di kiri depan saya itu seperti tak merasakan apa2 melihat proses social begitu. Mestinya dialah yang pertama kali berdiri, bukan saya apalagi anak SMP itu. Ibu itu berdiri tepat di sampingnya, sedang saya dan anak SMP itu agak jauh di belakang. Bukankah mereka yang seharusnya memberi tauladan? Ing Ngarso Sung Tulodo. Ing Madyo Mangun Karso. Tut Wuri Handayani. 

Kita marah saat Adinda mengomel di Path, memaki-maki seorang ibu hamil yang mesti diberinya tempat duduk di kereta. Tapi dia mengomel cuma di dunia maya. Di jejaring social, Path. Sementara di kehidupan nyata, tak bisa kita pungkiri bahwa mereka2 yang mestinya memberi teladan juga tak lebih baik dari itu. Ekspektasi kita yang terlalu tinggi, berharap mereka jadi pelayan rakyat. Padahal, jangankan untuk melayani, sekadar bisa diteladani saja mereka tidak layak.

*Moral kisah: bahwa jika ingin bisa tetap duduk saat naik bis, sibukkan saja diri dengan gadget anda, hahaha….!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...