Halaman

8 Nov 2013

Ujian Es Tebu

Untuk mengetahui mutu seseorang mudah saja, ujilah dengan es tebu. Dari seorang yang sempat diakui sebagai manusia terkaya se-Asia Tenggara, bisa kelabakan soal es tebu yang belum dibayar. Beberapa menit sebelumnya dia adalah BOSS BESAR yang menawarkan makan pada semua orang, untuk kemudian jadi pesakitan karena hal remeh saja, es tebu ternyata belum dibayar. Dari orang yang gagah perkasa dan dikagumi karena kaya, langsung jadi  bulan-bulanan di dunia maya. Reputasi sebagai orang kaya pastilah tercoreng karenanya. Beruntunglah dia banyak punya 'kacung' yang selalu pasang badan untuknya.

“Itu cuma soal kecil. Tak perlulah dibesar-besarkan”, kurang lebih begitulah pembelaan dari anak buahnya.

Mestinya mereka sadar, bahwa urusan rakyat memang yang kecil-kecil saja. Proyek besar atau mengurus negara adalah urusan mereka. Jadi soal es tebu itu bagi mestinya memang cuma soal remeh belaka. Buktinya, tak sampai dalam hitungan hari utang es tebu itu pun bisa dilunasinya. “Bahkan sampai dibayar lebih”, katanya.

“Cuma salah paham. Malah kami jadi terhibur. Insiden ini jadi bahan candaan di-antara kami”, kata anak buahnya yang lain.

Tapi ini bukan soal bahwa es tebu itu telah dibayar atau belum. Tak dibayar pun saya rasa takkan membuat si penjualnya sampai bangkrut. Kalau pun bangkrut misalnya, toh dia bisa bangkrut dengan bangga dan kepala tegak.

“Saya bangkrut karena ditipu bisnis oleh orang paling kaya se-Asia Tenggara”, begitulah kurang lebih katanya nanti pada semua orang.

Tapi ini soal melecehkan orang lain. Menganggap remeh kelakuan sendiri yang memberi kesulitan terhadap orang lain. Ini sungguh mengkhawatirkan. Si penjual es tebu itu pasti serius bicara soal haknya. Dan mereka menganggapnya sebagai lelucon belaka. Tak ada seorangpun yang punya niat untuk membayar apa yang telah dimakannya. Saat seseorang tak lagi acuh terhadap kewajibannya, inilah biangnya korupsi. Parahnya lagi, itu mereka lakukan justru saat sedang saling unjuk diri menghadapi PEMILU mendatang. Hampir semua dari mereka itulah nanti yang bakal jadi wakil kita di DPR/D nanti, sebab mereka semua adalah anggota dari sebuah partai besar yang paling sering memenangi Pemilu di Negara kita.

“Saya tak makan es tebu”, kali ini Boss Besar sendiri yang membela diri.

Nah, Bapak yang inilah pemimpin mereka, dan mungkin juga akan jadi pemimpin Indonesia nanti (mudah2an jangan deh, aamiiin….!). Sungguh satu prototype pemimpin gadungan yang ternyata banyak sekali di Indonesia. Ehh, tak sekadar banyak, bahkan Presiden kita sendiri pun lempar tanggungjawab soal macet ke anak buahnya, hahaha…!

Anak buah adalah tanggungjawab pemimpin. Aneh, kenapa justru saya yang berkata begitu. Mestinya para pemimpin itu sudah paham hukum tersebut. Bagaimana mungkin bertanggungjawab terhadap seluruh rakyat, jika soal seorang pedagang es tebu saja gagal diurusnya. Dan ini tidak melulu soal tanggungjawab.

Mestinya Si Boss langsung yang turun tangan membereskan kekacauan itu. Bayar, kemudian secara sportif meminta maaf. Ceritanya pasti sungguh berbeda jika scenario tersebut yang dimainkannya. Publik akan simpati dan itu akan jadi kampanye murah bernilai tinggi baginya. Celakanya, si Boss malah memilih kabur dari tanggungjawab dan memang begitulah kebiasaannya. Perusahaannya meneggelamkan 3 kecamatan di Pulau Jawa, dan pemerintahlah yang disuruh bertanggungjawab. Sungguh maneuver yang pintar, dan memang begitulah kebiasaannya. Dia yang begitu tegas kesalahannya, si penjual tebu lah yang minta maaf akhirnya. Setelah es tebunya dibayar tentunya.

”Saya minta maaf kepada Bapak Calon Presiden. Saya tak menyangka beritanya akan jadi besar begini.”

Tuh, kan menjadi bodoh itu mudah! Cukup bayar saja es tebunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...