Untuk mengetahui mutu seseorang mudah saja, ujilah dengan es
tebu. Dari seorang yang sempat diakui sebagai manusia terkaya se-Asia Tenggara,
bisa kelabakan soal es tebu yang belum dibayar. Beberapa menit sebelumnya dia
adalah BOSS BESAR yang menawarkan makan pada semua orang, untuk kemudian jadi
pesakitan karena hal remeh saja, es tebu ternyata belum dibayar. Dari orang
yang gagah perkasa dan dikagumi karena kaya, langsung jadi bulan-bulanan di dunia maya. Reputasi sebagai
orang kaya pastilah tercoreng karenanya. Beruntunglah dia banyak punya 'kacung'
yang selalu pasang badan untuknya.
“Itu cuma soal kecil. Tak perlulah dibesar-besarkan”, kurang
lebih begitulah pembelaan dari anak buahnya.
Mestinya mereka sadar, bahwa urusan rakyat memang yang
kecil-kecil saja. Proyek besar atau mengurus negara adalah urusan mereka. Jadi
soal es tebu itu bagi mestinya memang cuma soal remeh belaka. Buktinya, tak
sampai dalam hitungan hari utang es tebu itu pun bisa dilunasinya. “Bahkan
sampai dibayar lebih”, katanya.
“Cuma salah paham. Malah kami jadi terhibur. Insiden ini
jadi bahan candaan di-antara kami”, kata anak buahnya yang lain.
Tapi ini bukan soal bahwa es tebu itu telah dibayar atau
belum. Tak dibayar pun saya rasa takkan membuat si penjualnya sampai bangkrut. Kalau
pun bangkrut misalnya, toh dia bisa bangkrut dengan bangga dan kepala tegak.
“Saya bangkrut karena ditipu bisnis oleh orang paling kaya
se-Asia Tenggara”, begitulah kurang lebih katanya nanti pada semua orang.
Tapi ini soal melecehkan orang lain. Menganggap remeh
kelakuan sendiri yang memberi kesulitan terhadap orang lain. Ini sungguh
mengkhawatirkan. Si penjual es tebu itu pasti serius bicara soal haknya. Dan
mereka menganggapnya sebagai lelucon belaka. Tak ada seorangpun yang punya niat
untuk membayar apa yang telah dimakannya. Saat seseorang tak lagi acuh terhadap
kewajibannya, inilah biangnya korupsi. Parahnya lagi, itu mereka lakukan justru
saat sedang saling unjuk diri menghadapi PEMILU mendatang. Hampir semua dari
mereka itulah nanti yang bakal jadi wakil kita di DPR/D nanti, sebab mereka
semua adalah anggota dari sebuah partai besar yang paling sering memenangi
Pemilu di Negara kita.
“Saya tak makan es tebu”, kali ini Boss Besar sendiri yang
membela diri.
Nah, Bapak yang inilah pemimpin mereka, dan mungkin juga
akan jadi pemimpin Indonesia
nanti (mudah2an jangan deh, aamiiin….!). Sungguh satu prototype pemimpin
gadungan yang ternyata banyak sekali di Indonesia . Ehh, tak sekadar banyak,
bahkan Presiden kita sendiri pun lempar tanggungjawab soal macet ke anak
buahnya, hahaha…!
Anak buah adalah tanggungjawab pemimpin. Aneh, kenapa justru
saya yang berkata begitu. Mestinya para pemimpin itu sudah paham hukum
tersebut. Bagaimana mungkin bertanggungjawab terhadap seluruh rakyat, jika soal
seorang pedagang es tebu saja gagal diurusnya. Dan ini tidak melulu soal
tanggungjawab.
Mestinya Si Boss langsung yang turun tangan membereskan
kekacauan itu. Bayar, kemudian secara sportif meminta maaf. Ceritanya pasti
sungguh berbeda jika scenario tersebut yang dimainkannya. Publik akan simpati
dan itu akan jadi kampanye murah bernilai tinggi baginya. Celakanya, si Boss
malah memilih kabur dari tanggungjawab dan memang begitulah kebiasaannya. Perusahaannya
meneggelamkan 3 kecamatan di Pulau Jawa, dan pemerintahlah yang disuruh
bertanggungjawab. Sungguh maneuver yang pintar, dan memang begitulah
kebiasaannya. Dia yang begitu tegas kesalahannya, si penjual tebu lah yang minta
maaf akhirnya. Setelah es tebunya dibayar tentunya.
”Saya minta maaf kepada Bapak Calon Presiden. Saya tak menyangka beritanya akan
jadi besar begini.”
Tuh, kan
menjadi bodoh itu mudah! Cukup bayar saja es tebunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar