Sentot bersama seluruh pasukannya dikirim ke Sumatera Barat
untuk membantu pasukan Belanda. Saat itu di Sumatera terjadi sentiment kesukuan
terhadap kaum pendatang, termasuk orang-orang Jawa. Itulah juga alasannya
kenapa Belanda mengikutkan Sentot dan pasukan Jawanya dalam Perang Paderi. Bukannya
membantu, Sentot malah bikin pusing Belanda. Desember 1932, Tuanku Imam Bonjol
dan para pemimpin Paderi mengadakan rapat hanya beberapa ratus meter dari pos
Belanda di Bonjol, bersama Sentot tentunya. Kesepakatan Tandikek, namanya.
Pertemuan yang menyepakati untuk melakukan serangan serentak kepada semua pos
Belanda pada tanggal 11 Januari bulan depan (1833).
Di sini terlihat betapa Sentot Alibasya layak jadi Pahlawan
Nasional. Tidak melulu karena semangat perjuangannya. Karena bicara soal
semangat, itu bicara motif. Motivasi awal Sentot melawan Belanda bisa jadi cuma
karena dendam pribadi, sebab sakit hati orangtuanya yang Bupati Madiun dibunuh
Belanda. Tapi jika karena alasan itu, Pangeran Diponegoro pun juga tak bersih
dari niatnya. Malahan sebabnya lebih konyol lagi. Cuma gegara tersinggung,
tanah miliknya dipatok Belanda untuk dijadikan jalan tanpa seijinnya. Jadi soal
motif kita kesampingkan saja, oke…;)
Peristiwa di Bonjol menunjukkan bahwa Sentot berperan besar
memberangus sentiment kesukuan masa itu. Ini hampir 1 abad menjelang
dicetuskannya Sumpah Pemuda (1928), lho…! Ini poin berikut yang menurut saya membuatnya layak jadi Pahlawan Nasional.
Eliout, Residen Sumatera Barat yang melaporkan ke Gubernur
Jendral bahwa keadaan di Minangkabau aman ketipu mentah-mentah. Serangan
serentak sukses dilancarkan. Belanda yang kesal pun akhirnya memulangkan Sentot
ke Jakarta .
Setelah di markas besarpun, Belanda masih horror terhadap Sentot. Pengaruhnya
dianggap makin berbahaya jika tetap di Jawa (Jakarta), hingga akhirnya dia
diasingkan ke Bengkulu sampai akhirnya wafat di sini pada tanggal 17 April 1855
pada Usia 48 tahun, dan konon dalam keadaan masih membujang.
Belum habis lho…;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar