Tahu kan ,
bagaimana rasanya punya idola. Hampir semua detilnya ingin dimiliki. Begitulah
pula dengan saya. Jika dia pesepakbola, aneka jenis poster, artikel dan
videonya akan saya koleksi. Jika dia musisi, paling tidak semua lagunya ada di
playlist saya. Jika dia penulis, buku-bukunya wajib saya miliki. Mahal tak
mengapa, asal ada. Jika dia seorang tokoh, bermacam artikel dan buku bografinya
mesti saya punya.
Tapi, khusus untuk idola yang satu ini, ternyata sulit
sekali mengoleksi segala tentangnya. Artikel di internet nyaris tak ada. Bahkan
gambar sang pujaan yang saya dapat sampai sekarang cuma ada 3. Salah satunya
adalah gambar yang dulu saat SD sering saya tiru dan melukisnya di sampul buku2
pelajaran saya. Meski sekarang saya merasa geli mengingatnya, tapi saya cukup
bangga juga karena sampai detik ini kekonyolan tersebut tak berlaku bagi
idola-idola terkini saya.
Salah satu perang kemerdekaan yang paling kita kenal selama
ini adalah Perang Diponegoro. Cukup singkat sebenarnya, cuma 5 tahun (1825-1830).
Tapi perang ini konon adalah perang yang paling banyak menelan korban dan biaya
sepanjang sejarah colonial Belanda di dunia dan bahkan nyaris membangkrutkan
VOC. Apalagi di saat yang bersamaan
mereka juga tengah menghadapi Perang Paderi di Sumatera Barat (1820-1837). Pada
tahun 1825, Perang Paderi terpaksa di stop sementara karena pasukan Belanda di
tarik ke Jawa untuk mengahadapi Perang Diponegoro. Baru kemudian setelah perang
selesai Belanda kembali ke tanah Minang untuk melanjutkan Perang Paderi tahap 2
(1830-1837).
Ini juga peperangan yang paling banyak menimbulkan korban
jiwa baik dari pihak penjajah maupun rakyat Indonesia . Lebih 200 ribu korban
jiwa dari pihak Diponegoro. Padahal seluruh penduduk Indonesia saat itu baru sekitar 7
juta jiwa. sementara dari pihak colonial sekitar 8000 jiwa. Intinya, ini adalah
perang terbesar yang pernah dialami rakyat Indonesia . Seluruh rakyat Jawa
(khususnya), baik dari dari rakyat awam termasuk para santri, ulama termasuk
orang-orang keratin. Ini sedikit aneh, karena sejak pambantaian missal kaum
ulama dan santri oleh Amangkurat I (1647), hubungan keraton dan kaum santri
digambarkan sangat tidak akur.
Nah, yang membuat saya sedih, tokoh yang kita kenal dari
perang ini ternyata sangat sedikit. Selain Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan
utama, kita juga cuma mengenal: Pangeran Mangkubumi, Kyai Maja dan Sentot
Alibasya, sang idola saya. Cuma Pangeran Diponegoro yang dianggap sebagai
Pahlawan Nasional. Mestinya Sentot Alibasya juga donk!
Kenapa saya begitu ngotot mempromosikan Beliau?
Di post berikutnya saja yaaa…. ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar