Halaman

18 Agu 2013

Napoleon Jomblo Part 1

Saya punya banyak idola. Tapi idola pertama saya adalah Sentot Alibasya. Itu jauh sebelum saya mengenal Def Leppard, Ribas, Prie GS, Jusuf Kalla, Ryamizard Ryacudu, Clarence Seedorf, Dennis Bergkamp dan banyak lagi tokoh, musisi, atlet, penulis dan sebagainya.

Tahu kan, bagaimana rasanya punya idola. Hampir semua detilnya ingin dimiliki. Begitulah pula dengan saya. Jika dia pesepakbola, aneka jenis poster, artikel dan videonya akan saya koleksi. Jika dia musisi, paling tidak semua lagunya ada di playlist saya. Jika dia penulis, buku-bukunya wajib saya miliki. Mahal tak mengapa, asal ada. Jika dia seorang tokoh, bermacam artikel dan buku bografinya mesti saya punya.

Tapi, khusus untuk idola yang satu ini, ternyata sulit sekali mengoleksi segala tentangnya. Artikel di internet nyaris tak ada. Bahkan gambar sang pujaan yang saya dapat sampai sekarang cuma ada 3. Salah satunya adalah gambar yang dulu saat SD sering saya tiru dan melukisnya di sampul buku2 pelajaran saya. Meski sekarang saya merasa geli mengingatnya, tapi saya cukup bangga juga karena sampai detik ini kekonyolan tersebut tak berlaku bagi idola-idola terkini saya.

Salah satu perang kemerdekaan yang paling kita kenal selama ini adalah Perang Diponegoro. Cukup singkat sebenarnya, cuma 5 tahun (1825-1830). Tapi perang ini konon adalah perang yang paling banyak menelan korban dan biaya sepanjang sejarah colonial Belanda di dunia dan bahkan nyaris membangkrutkan VOC.  Apalagi di saat yang bersamaan mereka juga tengah menghadapi Perang Paderi di Sumatera Barat (1820-1837). Pada tahun 1825, Perang Paderi terpaksa di stop sementara karena pasukan Belanda di tarik ke Jawa untuk mengahadapi Perang Diponegoro. Baru kemudian setelah perang selesai Belanda kembali ke tanah Minang untuk melanjutkan Perang Paderi tahap 2 (1830-1837).

Ini juga peperangan yang paling banyak menimbulkan korban jiwa baik dari pihak penjajah maupun rakyat Indonesia. Lebih 200 ribu korban jiwa dari pihak Diponegoro. Padahal seluruh penduduk Indonesia saat itu baru sekitar 7 juta jiwa. sementara dari pihak colonial sekitar 8000 jiwa. Intinya, ini adalah perang terbesar yang pernah dialami rakyat Indonesia. Seluruh rakyat Jawa (khususnya), baik dari dari rakyat awam termasuk para santri, ulama termasuk orang-orang keratin. Ini sedikit aneh, karena sejak pambantaian missal kaum ulama dan santri oleh Amangkurat I (1647), hubungan keraton dan kaum santri digambarkan sangat tidak akur.

Nah, yang membuat saya sedih, tokoh yang kita kenal dari perang ini ternyata sangat sedikit. Selain Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan utama, kita juga cuma mengenal: Pangeran Mangkubumi, Kyai Maja dan Sentot Alibasya, sang idola saya. Cuma Pangeran Diponegoro yang dianggap sebagai Pahlawan Nasional. Mestinya Sentot Alibasya juga donk!

Kenapa saya begitu ngotot mempromosikan Beliau?
Di post berikutnya saja yaaa…. ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...