Kecewa mestinya saya karena Chua, bassist Kotak yang Masya
Allah cantiknya itu tak kunjung mengapruv permintaan pertemanan saya di
Facebook. Apalagi si Sheila, keponakan si Barong dalam sinetron Para Pencari
Tuhan juga tak menerimanya. Begitu pula ketika saya gagal menemukan di mana Ayu
Pratiwi yang asli. Tapi saat Ribas, penyanyi sekaligus pencipta lagu idola saya
mengapruvnya, begitu gempita perasaan saya. Apalagi dia juga selalu membalas
setiap email yang saya kirim. Malah ketika dia memuji saya sebagai TEMAN yang
paling baik, karena kelakuan bodoh saya, tak terkira perasaan saya saat itu.
Saya memang pernah sedemikian konyol bilang padanya, kalau sudah 2 tahun lebih saya
menggunakan NSP lagunya dan selalu memaksa teman yang lain untuk menggunakannya
pula. Saya bilang padanya saya berhasil memaksa 12 orang teman untuk
menggunakannya juga. Dia selalu membalas setiap email yang saya kirim, meski
isinya amat menggalaukan buatnya.
“Dear Ribs, penggemarmu di Batam cuma 3 orang. Saya, seorang
teman yang telinganya sudah saya jajah dengan lagu-lagumu dan keponakannya yang
masih kelas 6 SD. Ayoo, donk ! Promo ke Batam!” email-ku.
Meski jawabnya cuma ‘Insya Allah’, itu amat menggembirakan
saya.
Jadi ketimbang menangisi Chua atau Sheila, saya lebih
memilih gembira karena Ribas. Apalagi kemudian banyak juga seleb2 idola lainnya
yang bersedia mengapruv proposal permintaan pertemanan dari saya.
Tak mudah lho, mengajukan permintaan pertemanan dengan
selebritis. Mereka tak punya pertalian apapun dengan kita di dunia nyata. Ada kuota jumlah teman
yang mesti ditaati agar akun kita tidak dianggap spam dan diblok oleh Facebook.
Jadi sebagai selebritis dengan banyak penggemar pasti butuh seleksi ketat untuk
lulus dan lolos jadi temannya. Pasti butuh suatu yang special hingga mereka
bersedia mengapruvnya. Jadi saya merasa amat keren saat itu terjadi.
Puncaknya, ketika ada seorang (cewek donk, pastinya, hahaha…)
yang sepertinya menyukai apdetan-apdetan
status saya. Dia memasukkan saya ke dalam Grup yang juga diikutinya. Bukan grup
yang sembarangan tentunya, karena dia mesti cocok dengan gaya apdetan status-status saya. Artinya: dia
paham siapa saya. Dia (pasti) menikmati apdetan-apdetan status saya.
Saat di apruv para selebritis saya CUMA MERASA keren. Merasa
keren kan
belum tentu beneran keren, bukan? Oke, apdetan status-status saya berkelas.
RATUSAN malah yang di copas mentah-mentah oleh seorang teman saya (via email,
jika pengen tau orangnya, hahaha…;). Juga saya temukan diposting di beberapa
blog. Ada yang
punya teman, tapi ada juga blog orang yang tak saya kenal (tapi eloknya dia
bagi link akun saya).
Saking narsis karena merasa keren, saya sempat posting bahwa
saya adalah kandidat serius RI 1 periode 2014-2019, hahaha….! Tapi keren kan butuh bukti, bukan?
Semua yang di atas belum membuktikan apapun betapa kerennya
saya. Saya
memang merasa keren, karena berteman dengan banyak selebritis (meski cuma di
Facebook, hahaha…!). Saya memang merasa keren, karena banyak status Facebook
saya di-copas. Tapi semua itu tak menjelaskan apapun, sepanjang yang
mengakuinya cuma teman-teman saya. Juara sejati adalah juara yang mendapat
pengakuan dari pesaingnya. Kamu tau kan,
apa artinya pesaing itu. Dia adalah orang yang mesti dikalahkan. Makin berkualitas
pesaingmu, makin banyak cara yang mesti kau gunakan untuk menaklukkannya. Jika
perlu segala cara.
Jadi paham kan,
kenapa saya merasa gembira saat di-remove oleh (pacar) Dian? Dia tahu saya
keren. Dia mengakui bahwa saya keren. Me-remove saya berarti dia memastikan
betapa keren saya memang nyata adanya, hahaha…! Celaka baginya, karena ini juga
mengabarkan sekaligus bahwa dialah sang pecundangnya (bagian ini saya sama
sekali tak tega nulisnya. Kasihan Dian…;). Sebabnya cuma satu: dia memilih cara
yang keliru, mengakuinya dengan me-remove saya. Kebijakannya itu malah bisa
jadi blunder. Apa jadinya bila Dian tahu saya, seorang penggemarnya
dikorbankan. Simpati pada saya pasti. Tapi jika cuma begitu tak mengapalah.
Tapi bagaimana jika Dian simpati pada saya, tapi sekaligus sebal pada kebijakan
yang diambil sang pecundang ( Eeh..maap…!). Masih tak mengapalah jika cuma
sebal terhadap kebijakannya. Yang bahaya, dia simpati sama saya, sebal pada
kebijakan itu, sekaligus terhadap si pembuat kebijakan tak perlu itu. Gawat, kan? Bukan gawat buat
saya, tapi buat hubungan mereka.
Menegaskan keunggulan saya sekaligus memamerkan
kekalahannya. Penonton akan tahu bahwa kemenangannya cuma satu: punya password
akun Dian. Padahal dalam sebuah kompetisi, menang sekali takkan berarti jika kalahnya
berkali-kali. Sebaliknya kekalahan sekali tak jarang malah jadi terapi
penyembuhan yang mujarab. Pentas EURO 1988 di Jerman adalah salah satu contoh
kasus terbaiknya. Belanda kalah 0-1 di babak penyisihan dari Uni Sovyet, tapi
menang 2-0 atas lawan yang sama di final. JUARA.
Skenario yang semestinya adalah begini. Dia tahu bahwa saya keren, karenanya
dia mesti menghormati saya, demi restu dan respek dari saya. Sikap saya.
Sebagai orang keren, tentu saja saya akan balas menghormatinya. Saya takkan
mencederai ke-kerenan saya dengan memusuhinya, misalnya. Toh selama ini, meski sering
menulis tentang Dian, tapi tak sekalipun saya me-mention nama Dian semata demi
hubungan mereka. Saya tak mau jika apdetan saya malah muncul di dinding Dian
yang bakal mengacaukan romantisme mereka. Dian buat saya cuma property
(hahaha…!) tulisan saya buat teman-teman saya (termasuk Dian tentunya), bukan
bagi teman-temannya.
Intinya postingan sebanyak ini menegaskan bahwa saya sedang
galau, dan Dian memang top. Semakin saya kecewa karenanya, semakin bertubi
tulisan-tulisan saya tentangnya. Selamat Ulang Tahun, deh...!
Ngakak guling2. Ckckckc :D :D
BalasHapusGalau maksimal.... :(
BalasHapus