“Mengeluh itu dekat
dengan kekufuran.”~ Siraul Nan Ebat
Nyatanya, bukan manusia saja yang bosan terhadap curhat
dengan tema mengeluh. Bahkan Tuhan saja muak terhadap manusia yang mengeluh
melulu.
Mengeluh berarti tidak bersyukur. Tidak bersyukur berarti
kufur nikmat.
“Yang kufur nikmat itu adalah termasuk orang-orang yang
merugi.” Begitulah kira-kira kutipan bebas dari Al-Qur’an.
Kemudahan hidup adalah rejeki. Jadi jika ingin kemudahan
itu, yaaa…mestinya kita selalu bersyukur. Kan Tuhan sendiri yang sudah
menetapkan rumusnya. Bahwa orang-orang yang ditambah rezekinya adalah
orang-orang yang selalu bersyukur.
“Tiap hari saya dimarahi atasan saya. Marahnya pun soal
itu-itu melulu. Bagaimana targetmu hari ini?” Begitulah kira-kira ‘curhat’
seorang teman yang (baru) berprofesi sebagai sales terhadap calon nasabahnya.
“Bosan saya, tiap hari ditanya begitu selalu. Saya jadi
malas ngapa-ngapain. Mau berhasil atau tidak, selalu ditanyain begitu,”
lanjutnya.
“Yaah, kalau kau bekerja dengan hati kesal begitu, bagaimana
mungkin bisa berhasil”, kata calon nasabah yang membuatnya langsung JLEB.
Persoalan yang dihadapi si teman ini mungkin (menurutnya)
sudah keterlaluan. Saking keterlaluannya, dia butuh curhat kepada semua orang,
termasuk kepada calon nasabahnya sendiri. Curhatnya pun soal kerjaan, dengan
tema keluhan pula, hahahaha…!
“Sebenarnya sejak awal saya sudah tak mau kerja beginian.
Cuma karena tak enak sama orang yang menolong saya saja. Gara-gara nama dia maka saya
diterima kerja di sini,” curhatnya sama saya.
“Ceritanya gimana?” tanya saya pura-pura tak tau. Kalau
bagian ini demi kepentingan tulisan ini saja. Karena saya tahu persis gimana
kronologisnya…;)
“Karena saya menganggur, dan dia mau menolong saya makanya
ketika ada kenalannya yang butuh karyawan, maka saya direkomendasikan. Saya
orang baik, dan dia orang yang saya hormati. Jadi demi menghormatinya, saya
terima tawaran itu. Maka jadilah, saya diterima bekerja,” jelasnya.
“Kalau begitu, jangan lihat persoalan marahnya. Ingat saja
soal tanggungjawab menjaga nama baikorang itu! Beres," nasihat saya sok bijak.
Tak ada yang aneh soal dimarah atasan. Atasan yaa, marahnya pada bawahan.
Marahnya atasan itu sehat lagi menyehatkan, lho ! Atasan marah demi melepaskan
tekanan dari atasannya lagi. Bagi bawahan, dimarah itu juga untuk melepaskan
ketegangan dan kegelisahan hati. Karena sebelum dimarah, tapi kita sudah paham
akan dimarah normalnya, kita tegang dan gelisah. Kita baru lega biasanya justru
setelah kita dimarah. Jadi apanya yang keliru soal dimarah itu?
???
“Mengeluh itu menghambat karir,” kata Prie GS.
Karena saya karyawan baru dan sebagai bawahan pula, saya
melulu yang disuruh Boss mengangkat sampah dan membuangnya ke tempat sampah
yang ada di luar. Sudah berat, lumayan jauh pula.
Apa boleh buat, terpaksa saya taati. Pertimbangan saya
banyak. Pertama tentu soal sampahnya. Yang pasti, dia mesti dibuang segera.
Berikutnya soal keberatan, kenapa saya melulu yang disuruh, padahal masih
banyak teman-teman yang lain. Saya punya alasan yang sah untuk itu. Ini soal
keadilan. Diberlakukan dengan tidak adil membuat saya jadi tidak nyaman dalam
bekerja, itu alasan berikutnya.
Tapi saya juga mengerti konsekwensi jika saya menolak
melakukannya. Yang pertama tentu saja, sampah itu masih di situ saja letaknya.
Tapi berikutnya, saya juga akan dilabeli sebagai pembangkang. Di-cap sebagai
pembangkang pasti tidak baik demi karir saya.
Apalagi kata ‘Pembangkang’ itu juga dilengkapi dengan kata ‘Sampah’nya.
Adalah prestasi memalukan di-cap sebagai pembangkang dan cuma oleh soal sampah
pula, hahaha…;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar