Saya ingin jadi penulis terkenal? Tentu saja! Tapi menjadi beneran terkenal atau tidak saya tak pernah peduli. Saya menulis bukan untuk popularitas atau mengejar kekayaan. Best seller atau tidak itu cuma soal angka-angka penjualan. Itu tak bicara kualitas, tapi kuantitas. Itulah kenapa saya putuskan menjadi penulis mandiri. Menulis, mencetak, menerbitkan dan bahkan menjual buku saya sendiri.
Penerbit takkan bisa membuat saya kaya dari buku-buku yang saya tulis. Tapi penerbit dengan tim marketing profesionalnya bisa saja membuat saya jadi terkenal, diundang sebagai pembicara dan nara sumber di berbagai acara dan diskusi. Dan itu semua tentu berujung pada peningkatan taraf hidup saya menjadi lebih mapan. Tapi sekali lagi, bukan itu semua yang saya cari.
Saya tentu saja ingin terkenal, kaya, jadi idola dan pusat perhatian massa. Tapi jika karena menulis saya jadi terkenal, telah lebih banyak penulis yang jauh lebih terkenal. Bila karena menulis saya bisa kaya, ternyata jauh lebih banyak pula penulis yang lebih kaya. Malah ternyata tak perlu jadi penulis bila sekedar ingin jadi idola dan pemantik histeria massa. Cukup install Tik Tok di hape, dan jadilah Bowo Alpenliebel.
Jadi apa istimewanya? Padahal menjadi istimewa itulah kebutuhan saya. Sebab dengan menjadi biasa saja ternyata hidup saya juga hanya menjadi biasa saja. Tak ada yang bisa saya andalkan. Kaya tidak, rupawan juga bukan. Bahkan mendapatkan cinta seorang Rani saja ternyata saya tak bisa. Saya butuh menjadi istimewa, agar punya nilai yang bisa jadi kebanggaan dan bisa pula diandalkan.
Walau cuma di socmed, tapi saya cukup akrab dengan Indra J Piliang. Seorang penulis indie yang mengklaim sebagai paling produktif se-Indonesia. Tapi dia pribadi angkat topi dan mengakui saya sebagai penulis paling indie sedunia. Seluruh proses bukunya saya kerjakan sendirian. Dan itu jelas sangat bisa saya banggakan.
Saya merasa istimewa dan punya nilai diri. Tak mudah memang. Sebagai penulis mandiri saya tentu mesti banyak belajar soal menjadi penulis yang baik. Tapi sekali lagi saya harus jadi yang istimewa. Saya tak ingin sekedar jadi penulis yang baik. Penulis yang baik itu editor. Saya ingin jadi penulis yang hebat. Penulis yang hebat itu pemikir. Levelnya beda jauh.
Saya ingin dobrak stigma bahwa penulis haruslah yang bisa menulis. Tidak! Penulis cuma harus bisa berpikir. Jika pikiranmu besar, tulisan ala cakar ayam pun akan dibaca orang. Lihat saja tulisan dokter!
"Don't judge a book by it's cover," katanya.
Tapi, "bila ada isi, maka tak bercover pun tak mengapa," kata Prie GS pula.
Isi dari sebuah tulisan jelas lebih penting ketimbang jelek cakepnya tulisan itu sendiri. Menjadi cantik atau ganteng jelas kalah penting ketimbang menjadi manusia itu sendiri. Maka jika saya telah jadi manusia, ganteng atau jelek tidak lagi menjadi suatu persoalan.
Itulah kenapa saya ngotot menjadi penulis mandiri. Saya merasa lebih merdeka dalam berkarya. Jika gagasan saya bisa menarik pembaca, maka soal tata aturan kepenulisan tak lagi jadi persoalan penting. Yang akan membaca buku saya adalah pembaca, bukan editor. Dan bila karena membaca ini akhirnya ada yang jadi penulis mandiri pula, itu adalah kebanggaan berikutnya buat saya.
Selamat menulis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar