Seluruh berkumpul di aula
sekolah. Pengumuman ranking siswa segera akan dimulai, start dari kelas
tingkatan paling junior, kelas 1. Dan keringat saya mulai deras bercucuran.
Makin deras bila tiba saatnya giliran kelas saya.
Peristiwa yang masih saya ingat
betul adalah pengumuman peringkat siswa catur wulan ke2 saat kelas 4 SD.
“... Peringkat 3nya adalaaaah….!”,
aba-aba dari seorang guru yang bertindak sebagai MC yang menurut saya lebih
cocok sebagai instruktur senam jantung.
Kala itu saya masih mampu
mengendalikan diri, setidaknya untuk tidak terlihat tegang. Ini pengumuman
ranking 3. Biasanya jika tidak sebagai juara pertama saya minimal ranking 2.
Jadi ini bukanlah waktunya saya. Tak ada alasan untuk tegang, sebab saingan
saya cuma seorang teman yang memang selalu menjadi rival saya di kelas.
Tapi apa lacur. Ternyata nama
sayalah yang disebut. Sedikit terperangah tak percaya saya maju dengan tebar
senyum munafik menyalami ibu kepala sekolah yang juga tersenyum munafik. Saya
adalah siswa kesayangannya. Peringkat 3 itu adalah aib bukan saja bagi saya
tapi baginya juga. Beliau pasti mengerti perasaan saya saat itu. Senyum
munafiknya itu pastilah demi membesarkan hati saya. Saya mencoba tabah,
bertahan juga dengan senyum munafik untuk menetralisir galau hati.
Ini sungguh di luar dugaan
apalagi harapan saya. . Ini pasti sebuah kesalahan. Saya marah, benci dan
dendam terhadap ibu wali kelas yang begitu teganya menempatkan hanya sebagai
siswa ke-3. Beliau pasti sentimen terhadap saya. Tak percaya rasanya, teman
yang tak pernah saya kalkulasi sebagai saingan ternyata malah mampu mengisi
tempat yang normalnya menjadi milik saya. Di bawah si Anu sih buat saya tak
masalah. Tapi di bawah orang ini? Alamaaaak…! Mau taruh di mana muka saya? Sorak dan tepuk tangan meriah teman-teman dan
para guru yang sebetulnya sebagai aplaus dan pemberi semangat saat itu saya
rasakan seolah mengejek-ejek derita saya.
Yaa, derita! Gagal juara pertama
saja adalah bencana. Apalagi cuma BERHASIL meraih ranking 3. Boro-boro mikir
mengupdate komik Petruk terbaru. Hal pertama yang akan saya lakukan begitu
sampai di rumah nanti adalah mengamankan koleksi novel Wiro Sableng, sebelum
keburu dibuang Amak atau Apak saya, hahaha…!
Tuntutan orangtua akan prestasi
membuat saya kerap dan rutin mengalami peristiwa-peristiwa yang sebabkan perut
melilit begitu. Sejak masih di bangku TK saya selalu berpartisipasi dalam kompetisi,
aneka kejuaraan bidang studi atau lomba cerdas cermat. Dan yang namanya
perlombaan itu selalu menegangkan. Persoalannya ini adalah jenis ketegangan
yang tak pernah mampu saya hadapi dengan tidak tegang. Walau telah terbiasa,
tapi ketegangannya tak pernah membuat saya imun terhadapnya. Sepertinya malah
main akut.
Sekarang saja, setiap kali ada
motor scoopy warna pink-putih lewat saya sudah tegang. Buru-buru saya amati
pengendaranya. Jika dia cewek berjilbab saya makin tegang. Apalagi jilbabnya
lebar pula. Ketegangan makin memuncak bila si cewek ternyata menyandang sebuah
tas besar di punggungnya. Jangan-jangan…! Hahaha…!
Ehh, tapi motornya warna
pink-putih atau merah putih sih, Ran? Ga pernah fokus soalnya. Saya lebih
tertarik pada pengemudinya, hahaha…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar