Dengan keyword 'Jorong Sarjana' di Google hasil pertama yang ditampilkan adalah sebuah artikel Kompasiana berjudul Ampang Gadang Jorong Sarjana di Lima Puluh Kota. Ampang Gadang yang dimaksud adalah Jorong, kampung kelahiran saya yang tepatnya adalah Jorong Ampang Gadang, Kenagarian VII Koto Talago, Kecamatan Guguak, Kabupaten 50 Kota. Artikel yang menulis bahwa Jorong Ampang Gadang adalah Jorong Sarjana karena minimal dalam sebuah keluarga terdiri dari 2 orang sarjana dari sekitar 3000 warganya yang tinggal di kampung ataupun merantau di berbagai pelosok nusantara. Walau saya adalah salah seorang produk gagalnya (cuma tamatan STM☺), tapi saya bangga menjadi warganya. Isi artikel tersebut membuat saya bangga sebagai warganya.
Di sini ada 2 Sekolah Dasar, SD Inpres dan SDN 4 Ampang Gadang. Saya sendiri adalah alumni SDN 4 tersebut. Di era 90an SD ini adalah salah satu SD favorit se-Kabupaten 50 Kota. Berbagai prestasi level Kabupaten, Propinsi bahkan tingkat Nasional hampir tak pernah luput dari capaian. Padahal di era CBSA tersebut kompetisi antar sekolah jelas tak sepadat di era internet sekarang ini. Selain kejuaraan olahraga, paling ada lomba Bidang Studi dan lomba cepat tepat P4. Tiap tahun minimal SD kebanggaan saya ini setidaknya selalu menjadi wakil Kabupaten 50 Kota untuk berlaga di tingkat Propinsi Sumatera Barat. Siraul Nan Ebat, tentu saja menjadi salah satu bagian dari sejarah emas tersebut, hehehe☺.
Berlebihan? Rasanya tidak. Bahkan saya yakin generasi saya adalah salah satu produk terbaiknya. Saya masih ingat persis, NEM terendah kami waktu itu adalah 36.72. Berarti nilai terendah ujian terakhir kami adalah 7.3 (kurang lebih). Nilai terendah ya, bukan nilai rata-rata. Saya yakin sulit menemukan tandingan nilai generasi kami.
Di masa jaya tersebut, rata-rata tiap kelas mulai dari kelas 1 sampai kelas 6 diisi oleh 24 orang siswa. Tentu tidak merata persis. Tapi dengan jumlah tersebut, rasio jumlah murid dan gurunya sangat ideal. Tidak terlalu banyak, namun juga tidak terlalu sedikit. Jumlah tersebut membuat guru bisa mengeluarkan potensi yang ada secara optimal. Dan outputnya adalah murid-murid yang sarat prestasi, seperti yang telah saya tuliskan di atas.
Sedikit jomplang bila dibandingkan dengan SD Inpres-nya. Satu kelas cuma diisi oleh 5 sampai 8 orang saja. Tak jarang malah ada yang cuma 2 atau 3 orang siswa. Dan maaf saja bagi teman-teman alumninya, dengan aura kompetisi yang konstan, bagi kami anak SDN, mereka cuma siswa-siswa pinggiran. Mereka yang gagal diterima di SD kami, maka terpaksa terima nasib sekolah di sana. Sekali lagi maaf ya☺.
Tapi itu dulu. Dulu sekali teman-teman. Sekarang kondisinya sangat mengenaskan. Jorong Ampang Gadang yang dikenal sebagai penghasil sarjana itu sekarang nyaris tak punya SD lagi. Saya telah bertanya pada banyak orang. Dengan margin error mencapai 200%, informasi yang saya terima murid SD kebanggaan saya tersebut sekarang cuma 5 orang. Bahkan informasi terakhir tadi, yang 2 orangpun karena yang tahun kemaren tidak lulus? Silahkan yang punya data mohon divalidasi. Ini mengerikan. Ada apa ini?
Parahnya lagi, SD Inpres juga tak lebih baik. Sebelum kelulusan lalu saya dapat informasi muridnya keseluruhan cuma 15 orang. 3 kelas kosong. Kemana bocah-bocah jorong ini sekarang bersekolah? Masihkah Ampang Gadang jadi penghasil sarjana di masa depan? Wallahu 'alam😢😢😢
Tidak ada komentar:
Posting Komentar