Bang Karni, saya setuju dengan apa yang disampaikan Bung Mantap barusan. Kita semua adalah korban dari sistim demokrasi dan bernegara yang keliru. Celakanya yang keliru tersebut terus-menerus kita praktekkan. Ada yang mengerti kekeliruan tersebut, tapi tak berani meluruskannya. Kita semua telah didonktrin untuk 'malu' dianggap aneh. Kita dipaksa berpegang pada yang keyakinan bahwa itu benar, bukan pada kebenaran itu sendiri.
Istilah partai pendukung atau partai oposisi itu sebetulnya tidak boleh ada. Benar, saat pemilihan eksekutif seperti Pilpres atau Pilkada ada koalisi partai. Itu keniscayaan, sebab konstitusi memang mengamanatkan bahwa ada aturan tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang bisa diusung sebagai calon pemimpin. Jumlah suara atau kursi. Atau strategi untuk memenangkan calon yang 'memang butuh dimenangkan. Tapi setelah pemilihan koalisi tersebut itu harus bubar. Kabinet berkualitas akan terwujud, sebab tak ada kepentingan partai dan politik lagi di dalamnya. Kabinet bekerja demi negara dan kepentingan rakyat. Kita semua, politisi, pengamat dan komentator politik harusnya berperan dalam mencerdaskan pemahaman politik bangsa. Bukan malah membuat kotak-kotak hitam putih partisan dan oposan. Garis batas yang keliru itu telah memecah belah kita semua. Pendukung Jokowi pasti membenci Prabowo, dan sebaliknya. Padahal sejatinya, belum tentu pemilih Prabowo itu karena memang mendukung Prabowo. Bisa juga karena dia memang tak suka Jokowi. Bingung? Hahaha...!
Begini! Apakah PKS menolak Naga Bonar karena tak suka Deddy Mizwar? Tapi istilah-istilah Partai Pengkhianat, Selingkuh Politik itulah yang menarasikannya begitu. Bahwa bila memilih Deddy Mizwar berarti mendukung partai anti Islam, mendukung klenik dsb. Menolak Deddy Mizwar berarti mendukung Meikarta. Ini kan salah? Tak pernah nonton iklan BengBeng ya? Si Pacar dan Bapaknya pasti sama-sama mencintai si Putri. Tapi si Pacar lebih suka makan BengBengnya langsung, sementara papa si Putri setujunya BengBeng dingin. Mana bisa dipaksakan harus sama-sama suka makan langsung atau tunggu dingin dulu!
Tapi yang demikian digoreng begitu rupa. Kita dibuat berkelompok yang saling bertentangan dengan yang lainnya. Rakyat dipecah belah. Pendukung Jokowi pasti pendukung penista agama. Anti Jokowi berarti intoleran. Yang Islam pasti teroris, sementara yang lain penjaga Pancasila. Apa iya begitu?
Tentu sulit, tapi bukan tidak bisa. Hilangkan istilah-istilah keliru tersebut. Bila pemerintah keliru, berasal dari partai manapun, legislatornya harus mengkritik. Pun begitu sebaliknya. Bila kebijakannya bagus, semua juga harus dukung. Sekarang kan tidak? Barisan dari partai pendukung harus selalu mendukung, walau kebijakan pemerintah tidak pro rakyat. Sementara yang oposisi, sebaik apapun kebijakan pemerintah selalu saja 'diharuskan' menjegal. Ini kan tidak sehat? Sampai Anggun jadi Duta Shampoo Lain sekalipun jika ini diteruskan, dunia politik di Indonesia akan tetap ribut.
Menurut saya satu-satunya politisi yang mengerti dan berpolitik dengan benar yaa, maaf, cuma Bung Mantap inilah. Di jaman siapapun dia tetap vokal mengkritisi pemerintah, walau dia sendiri berasal dari partai pendukung pemerintah. Salah atau benar yang disuarakannya itu soal lain, terserah penilaian dan pemahaman masing-masing kita. Tapi itu telah menjelaskan bahwa memang dia mengerti, begitulah tugasnya sebagai anggota DPR.
Tugas kenegaraan jangan dicampur tugas politik. Itu beda. Presiden dan DPR itu lembaga negara, bukan lembaga politik. Sayangnya konstitusi kita sangat lemah dalam persoalan ini. Mestinya ada aturan yang tegas, bahwa setiap pejabat negara harus mundur dari segala jenjang jabatannya di struktural partai. Selama ini kita hanya mengandalkan etika. Ini keliru. Normalnya seorang kakak ipar tak mungkin main serong dengan adik iparnya sendiri. Kurang paham apa mereka soal etika? Tapi Islam memberi batasan yang jelas, mereka dilarang berduaan, walau dalam rumah orangtua sendiri. Ini kan pelajaran bagus, demi menjaga segala kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Tak cukup hanya dengan mengandalkan pemahaman etika saja.
Kesejahteraan rakyat babak belur. Menko Puan minta rakyat kurangi makan. Apa Bung Masinton berani mengkritisi pernyataan Tuan Putri? Tak mungkin, sebab tak etis seorang kader partai mengkritik, apalagi mengecam petinggi partainya sendiri. Karena tak punya aturan hukum yang tegas, tugas kenegaraan Bung Masinton sebagai anggota DPR tak bisa dijalankannya karena politik. Kepentingan negara kalah melawan kepentingan politik. Negara tak berdaya dihadapan politik.
Mahar politik? Ini juga istilah yang akan menjebak kita untuk selalu salah dalam berdemokrasi. Ini buntut dari jebakan demokrasi kita. Saya setuju bahwa dana parpol beradal dari APBN seperti yang diusulkan oleh Bung Mantap sejak lama. Tapi saya pikir ini masih sulit kita lakukan sekarang. Harus dibuat dulu aturan yang jelas dan tegas soal penggunaan anggaran publik. Bayangkan ada import ilegall ribuan senjata yang dianggap beres hanya karena telah diamankan TNI. Apa sanksi yang diterima Polri? Bukankah pembeliannya menggunakan anggaran publik? Bagaimana pertanggungjawabnnya? Tak ada. TAK ADA.
Ujung-ujungnya adalah kita harus membuat hukum yang kuat. Pejabat negara mengemban tugas negara. Politik urusan parpol. Jika batasan hukumnya jelas, dunia politik kita akan mandiri, cerdas dan bersih. Kehidupan dan kesejahteraan rakyat akan meningkat.
Mandiri dan cerdas, sebab parpol akan berusaha sendiri mencari dana operasional partai. Bersih, karena takkan ada lagi dana-dana siluman sebab seluruh sumber pendanaannya transparan. Parpol dan donatur juga akan saling diuntungkan. Mesin parpol bisa digerakkan karena kegiatan, sosialisasi dan kampanyenya didukung oleh sponsor yang diiklankan dalam setiap kegiatan kepartaian. Ini kan mutualisme yang bersih?
Politik menjadi bersih tentu akan berdampak baik bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Seluruh pejabat negara fokus bekerja sesuai yang diamanahkan rakyat padanya, sebab tak diusik lagi oleh kepentingan partai. Korupsi akan hilang, karena seluruh transaksi politik tidak lagi berurusan dengan pejabat negara, tapi antara parpol dan pengusaha.
Gitu aja Bang Karni!
Kita rehat sejenak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar