Teman-teman SD, MTs di kampung mungkin tak ada yang percaya
sama sekali bahwa khususnya sejak melanjutkan sekolah di Batam saya adalah
orang yang sama sekali berbeda. Saya bukan Raul mantan idola cilik tersebut,
wkwkwk…! Bukan Raul yang kerap dijadikan rule model standar anak kebanggaan
orangtua, sekolah ataupun kampung sekitar. Tak usah bicara prestasi, sebab prestasi
selama sekolah di Batam pun hancur berantakan. Sebagai gambaran, saya adalah
tersangka tunggal provokator terjadinya pemukulan seorang teman oleh seorang
guru di hari terakhir kami injakkan kaki dengan di sekolah tersebut. Sebuah
kalimat singkat di spanduk kenang-kenangan yang saya tulis telah memicu seorang
guru untuk memukul seorang teman akrab saya. Sampai saat ini kami menduga, sang
teman dipukul karena guru olahraga tersebut gagal mencari saya, hahaha…!
Jejak kenakalan saya tak hilang begitu saja di memori para
guru. 10 tahunan berlalu, guru-guru pembimbing mengantar adik-adik kelas magang di
perusahaan atas bukit tempat saya itu. Sekolah saya memang rutin mengirim
murid-muridnya untuk belajar praktek di sana. Dan petuah yang tak pernah lupa
diberikan sang guru pembimbing terhadap adik-adik kelas tersebut sama saja
muatannya,
“Belajar kalian baik-baik pada abang kalian ini. Dia itu
pintar. Tapi jangan ikuti kenakalannya!”.
Diantara teman seangkatan dulu, mungkin murid satu-satunya
yang pernah bikin Ibu guru ini menangis hanyalah kelakuan saya. Namanya Bu Ina,
hahaha…! Tak penting dibahas sebab kenapanya. Sampai detik ini pun, setelah 16
tahun berlalu saya juga tak pernah minta maaf sama sekali terhadapnya. Walau
begitu saya yakin dia juga sudah memaklumi dan memaafkan kelakuan saya tersebut. Walau ‘tak
pernah’ lagi bertatap muka, setidaknya sejak era sosmed ini komunikasi kami
tetap terjaga.
Tak terlalu akrab memang hubungan dengannya. Tapi bukan
berarti saya tak menghormati dan ingin akrab dengannya. Dan sungguh saya merasa
begitu risih, ketika beberapa teman dengan alasan agar lebih akrab memanggil
dan menyapanya dengan sebutan ‘Mba’.
???
Hey, kesuksesan karir seperti apa yang telah kalian capai
maka begitu percaya dirinya memanggil seorang guru dengan panggilan begitu? Dengan
alasan apapun, di masa tuanya seorang guru yang walau pernah menjadi pejabat publik
tetap lebih suka dipanggil dan dianggap sebagai guru. Guru adalah profesi tanpa
jenjang karir. Seumur hidup seorang guru akan tetap jadi guru. Bahwa jika
kemudian beberapa diantara ada yang memilih, dipilih dan dipercaya menjadi
pejabat itu soal lain.
Setinggi apapun keberhasilan karir kita adalah andil para
guru yang tidak cuma mengajarkan tapi juga memberi pelajaran. Betapa sombongnya
manusia yang mengaku bisa sukses melulu karena kerja keras belaka. Tak kasat
mata mungkin, tapi selalu ada banyak peran guru hidup yang mengidupkan dalam
seluruh perjalanan itu.
Alasan demi keakraban? It’s a big bullshit!
Tidakkah ada cara lain? Pendek amat sih ‘kincia-kincia’nya?
Kelakuan saya terhadap Ibu itu jelas lebih butuh konsolidasi
ketimbang perlakuan yang lain terhadapnya. Saya pernah jadi orang yang begitu
menyebalkan baginya. Pun begitu perasaan saya terhadapnya. Bayangkan saja
betapa menyebalkannya orang yang terhadapnya saya curhat malah dilayani dengan
isak tangis, hahaha…! Saya yang kesal, dia yang menangis, wkwkwkw…!
Toh sampai saat ini saya masih menganggapnya sebagai guru
saya. Dan itu bukan basa-basi. Setidaknya, sampai saat ini saya masih
memanggilnya Ibu, Ibu Guru.
Beberapa tetangga saya adalah guru saya juga. Tapi
seluruhnya tetap saya panggil Ibu/Bapak Guru. Di MTs dulu, ada seorang guru
saya bernama Sukarti. Kelalaian mengenali family membuat saya telat menyadari
bahwa dia termasuk dalam silsilah keluarga saya, hahaha…! Dan itu saya ketahui
setelah saya tamat sekolah. Mestinya saya memanggilnya: Mak Odang. Nyatanya
sampai saat ini, saya masih memanggilnya Bu SK (panggilan nge-topnya).
Karena sudah terbiasa memanggil Ibu? Tidak juga!
Bu Hanifah itu kakak teman saya, Ilen. Hubungan pertemanan
di sekolah selama 9 tahun, SD dan MTs dan kebetulan bertetanggaan pula.
Terhadap kakaknya itu saya selalu memanggil Uni Eva. Ehh, saya lanjut sekolah
ke Batam, setahun kemudian dia menyusul sebagai guru. Panggilan saya pun
terhadapnya berubah, dari sebelumnya Uni Eva menjadi Bu Eva. Padahal selama 2
tahunan itu, cuma sekali dia masuk mengajar di kelas saya. Tanya saja kalau tak
percaya, hahaha…!
Menjadi guru adalah sebahagian besar cita-cita masa
kanak-kanak kita. Profesi yang membanggakan. Maka janganlah dikecilkan cuma demi
basa-basi keakraban belaka.
Selamat sore…!