Tuhan menganugrahkan makhluk-makhlukNYA
naluri dalam merespon kehidupan, tidak bagi manusia saja. Sejarah mengabarkan
bahwa sejak jaman Big Bang binatang sekecil kutu saja bahkan masih eksis sampai
sekarang. Teknologi shampoo yang dirancang puluhan ilmuwan, sarjana atau
akademisi berbagai disiplin ilmu tak bisa buat kutu punah dari kehidupan. Teknologi
shampoo itu cuma bisa mengisolasi kutu. Naluri untuk hidup membuat kutu tetap
eksis sampai sekarang.
Manusia pun banyak yang bahkan
makin eksis justru karena geraknya dibatasi. Eksistensi Soekarno-Hatta tak bisa
dilumpuhkan, meski bolak-balik dipenjara Belanda. Nelson Mandela bahkan berkata
bahwa ia baru bisa jadi Presiden setelah dipenjara. Kenapa? Entahlah,
hahahaha…! Tapi jika kutu saja mampu bertahan untuk survive, kenapa manusia
tidak? Karena manusia juga diberi naluri serupa. Bahkan dilengkapi dengan akal
segala.
Menghadapi pekerjaan sebagai tekanan itu keliru. Menyikapi tekanan itu sebagai
beban adalah keliru berikutnya. Pekerjaan yang tanpa beban itu justru tak
mungkin. Tapi meringankan yang berat bukan tak bisa. Kombinasi naluri dan akal
yang dimiliki manusia mestinya kompak dalam menyikapi ini. Naluri tahu ini
berat. Akal bilang bahwa jika bebannya segini, memikulnya mesti begini. Kalau
bebannya di situ, tumpuannya mesti di sini. Jadi cuma soal teknis biasa.
Menghadapi soal2 teknis memang
butuh keahlian. Tapi juga tak sulit, karena keahlian itupun ramah terhadap
siapa saja. Ia cuma butuh dibiasakan. Membiasakan itupun mudah, karena yang
luar biasa pun akan jadi biasa jika dibiasakan.
Menyuruh atasan membuatkanmu kopi
itu butuh keberanian yang luar biasa. Jika tak menguasai teknisnya, jangan
coba-coba. Tapi saya bisa buktikan bahwa itu bisa. Sekarang Boss saya langsung
galau kalau saya sudah ngomong begini.
”Boss, ketimbang berdiri-diri saja di situ mending buatkan saya kopi. Air sudah
panas. Gelas, sendok sama kopi ada di lemari. Gula kalau sudah habis, minta
saja sama OB. Bilang saya yang minta!”
Begitulah gaya saya kalau dia sedang berdiri
melihat-lihat pekerjaan saya. Gaya
yang sudah dihapalnya karena sudah biasa saya praktekkan. Entah dia mau
membuatkan atau tidak itu soal lain. Karena pada intinya saya memang cuma
bercanda. Jika dia berpikir saya serius, bisa jadi dia akan membuatkan saya
kopi. Jika dia pikir saya bercanda, tak mungkin dia tersinggung karena perintah
saya itu. Karena tak tersinggung itu, bisa jadi diapun bersedia menuruti
perintah saya: membuatkan kopi. Jadi tak ada ruginya, kan? Malah saya gembira karena banyak hal.
Pertama, gembira karena candaan
itu saja. Kedua dan seterusnya, karena saya bisa bekerja dengan gembira,
dibuatkan kopi, oleh Boss pula, hahaha…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar