Halaman

8 Mei 2013

Bekerja dengan Gembira

Tuhan menganugrahkan makhluk-makhlukNYA naluri dalam merespon kehidupan, tidak bagi manusia saja. Sejarah mengabarkan bahwa sejak jaman Big Bang binatang sekecil kutu saja bahkan masih eksis sampai sekarang. Teknologi shampoo yang dirancang puluhan ilmuwan, sarjana atau akademisi berbagai disiplin ilmu tak bisa buat kutu punah dari kehidupan. Teknologi shampoo itu cuma bisa mengisolasi kutu. Naluri untuk hidup membuat kutu tetap eksis sampai sekarang.

Manusia pun banyak yang bahkan makin eksis justru karena geraknya dibatasi. Eksistensi Soekarno-Hatta tak bisa dilumpuhkan, meski bolak-balik dipenjara Belanda. Nelson Mandela bahkan berkata bahwa ia baru bisa jadi Presiden setelah dipenjara. Kenapa? Entahlah, hahahaha…! Tapi jika kutu saja mampu bertahan untuk survive, kenapa manusia tidak? Karena manusia juga diberi naluri serupa. Bahkan dilengkapi dengan akal segala.

Dengan nalurinya semut tahu bahwa mengangkut potongan roti itu tak bisa sendirian. Tak ada akal si semut yang memberi tahu bahwa jika kau nekat, kau akan keseleo.

“Panggil teman-temanmu!” Begitu kira-kira nalurinya memerintah.

Menghadapi pekerjaan sebagai tekanan  itu keliru. Menyikapi tekanan itu sebagai beban adalah keliru berikutnya. Pekerjaan yang tanpa beban itu justru tak mungkin. Tapi meringankan yang berat bukan tak bisa. Kombinasi naluri dan akal yang dimiliki manusia mestinya kompak dalam menyikapi ini. Naluri tahu ini berat. Akal bilang bahwa jika bebannya segini, memikulnya mesti begini. Kalau bebannya di situ, tumpuannya mesti di sini. Jadi cuma soal teknis biasa.

Menghadapi soal2 teknis memang butuh keahlian. Tapi juga tak sulit, karena keahlian itupun ramah terhadap siapa saja. Ia cuma butuh dibiasakan. Membiasakan itupun mudah, karena yang luar biasa pun akan jadi biasa jika dibiasakan.

Menyuruh atasan membuatkanmu kopi itu butuh keberanian yang luar biasa. Jika tak menguasai teknisnya, jangan coba-coba. Tapi saya bisa buktikan bahwa itu bisa. Sekarang Boss saya langsung galau kalau saya sudah ngomong begini.
 
”Boss, ketimbang berdiri-diri saja di situ mending buatkan saya kopi. Air sudah panas. Gelas, sendok sama kopi ada di lemari. Gula kalau sudah habis, minta saja sama OB. Bilang saya yang minta!”

Begitulah gaya saya kalau dia sedang berdiri melihat-lihat pekerjaan saya. Gaya yang sudah dihapalnya karena sudah biasa saya praktekkan. Entah dia mau membuatkan atau tidak itu soal lain. Karena pada intinya saya memang cuma bercanda. Jika dia berpikir saya serius, bisa jadi dia akan membuatkan saya kopi. Jika dia pikir saya bercanda, tak mungkin dia tersinggung karena perintah saya itu. Karena tak tersinggung itu, bisa jadi diapun bersedia menuruti perintah saya: membuatkan kopi. Jadi tak ada ruginya, kan? Malah saya gembira karena banyak hal.

Pertama, gembira karena candaan itu saja. Kedua dan seterusnya, karena saya bisa bekerja dengan gembira, dibuatkan kopi, oleh Boss pula, hahaha…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...