Secara geografis, letak kampung ini
sungguh mengharukan. Di bawah tebing, tapi di bawahnya rawa. Bingung ?
Maksudnya: Mau maju terhalang tebing, mau mundur dihadang rawa.. Di situnya
tebing, tapi di sananya rawa. Agak ke situnya lagi komplek Industri dan perusahaan-perusahaan
Elektronik. Sementaranya agak ke sananya lagi area perusahaan galangan kapal. Kampung
itu dibelah dua oleh sebuah jalan tempat lalu lalang karyawan dan kendaraan
proyek yang becek jika hujan dan berdebu di kala kering. Beberapa bulan belakangan
di tengah jalan itu terletak sebuah kotak sumbangan yang mempertegaskan
kemiskinan mereka, tepatnya sejak sebuah kebakaran menimpa kampung itu.
Kebakaran yang (saya yakini) amat mengintimidasi kemerdekaan mereka. Rawa yang
sebelumnya berupa sungai sekarang nyaris sudah jadi daratan karena penimbunan
demi perluasan wilayah perusahaan. Sesaat demi sesaat pemekaran areal itu
menginvasi kampung mereka.
Setiap hari saya melewati kampung
ini karena perusahaan tempat saya bekerja juga berlokasi di sana, bertetangga dengan mereka. Sebagai
karyawan perusahaan itu, otomatis mereka adalah juga tetangga mereka. Jadi saya
pun mesti bersikap layaknya sebagai tetangga yang baik. Mengendurkan gas motor
jika memasuki kampung mereka. Semata bukan karena takut akan menabrak ayam,
kucing atau anjing peliharaan mereka. Juga bukan karena banyak anak-anak yang
bermain di tengah jalan. Tapi demi kesopanan dan penghormatan terhadap mereka.
Selalu saya sempatkan berbagi senyum dan tegur sapa. Apalagi, siapa tahu suatu
saat saya juga jadi bagian dari mereka. Kan,
Dian tinggal di sana,
hahaha…;)
Setiap Jumatan saya jalan kaki ke
masjid kecil kampung itu. Puluhan kali sholat di sana, baru saya sadari bahwa masjid kecil itu
bernama: Masjid Raya Rawa Sari. Hahaha…! Pilihan nama yang cerdas, optimis dan
berselera humor. Nama bukan sekadar doa. Nama adalah mandat bagi penyandangnya.
Memikul nama ‘raya’ bagi masjid yang kecil itu sungguh bukan lagi sekedar doa,
tapi mesti diupayakan. Itulah kenapa sampai sekarang mesjid kecil itu terus
membangun dan membesarkan fisiknya. Sampai tulisan ini dimuat, sepertinya
pemasangan keramik akan dimulai. Nama yang sekadar doa tanpa upaya
menjadikannya nyata adalah doa gagal makbul paling abadi sepanjang masa. Itulah
kenapa ada Bupati yang meski bernama Fikri, bukan saja gagal memikul amanat
rakyatnya juga gagal terhadap mandat nama yang disandangnya. Tentu karena tak
ada upaya menjadikannya nyata. Nama itu berakhir sekadar data semata. Kita sendiri paham, bahwa ada banyak data mengaburkan, bukan mengabarkan fakta.
Meski merupakan nama sebenarnya, Rawa Sari sebagai nama kampung
tentu bukan nama sebagai doa. Ini serupa nama panggung yang bernilai komersil.
Semua yang sifatnya komersil tentu mesti menarik. Ia bak nama panggung bagi
artis dan selebritis. Sebagai kampung, ‘rawa’ itu buruk rupa.Tapi sebagai nama,
‘sari’ bisa membuatnya menarik. Itulah yang nama yang menghias si buruk rupa
menjadi.lebih artistic. Karena jika sudah buruk rupa dan gagal artistic pula
itu adalah musibah sempurna bagi gairah hidup. Hidup yang tak bergairah
bukanlah hidup yang bermutu, bukan…? Jadi biarlah buruk rupa, paling tidak
menang nama.
Eeh, suer…! Saya betul-betul
penasaran. Namanya Dian Ermi Sari atau Dian Rawa Sari, sih…?
Hahahaha…;)
wah,, kayag na saya kenal lho sama yg punya nama diatas.. heheheh.. :D
BalasHapustulisan na bguz bgt bang,. great.. (y)
Emang dia kok yang dimaksud, hahaha...!
HapusTulisan kayak begini bagus?
becanda aja adek ni, hahaha...;)