Dengan
senang hati seperti biasanya, Jainuddin menyambut kedatangan Abu Garuk.
"Terima kasih, Pak Abu! Pak Abu bersedia berjumpa dengan saya. Saya
mengikuti Pak Abu sudah lama. Apa yang Pak Abu lihat, soal Indonesia
akhir-akhir ini?"
"Susah
saya update status kadang-kadang, Pak! Setiap kali saya posting misalnya,
selalu dikomen 'Ratna' atau 'tol'. Sepertinya itulah template komen hasil
briefing dari kakak pembina mereka, Pak! Saya sering bilang, 'kenapa kalian
komen selalu begitu, padahal kan banyak ide-ide lainnya?' Tapi begitulah memang
mereka, Pak!" jawab Abu Garuk.
"Itu
di mana-mana, Pak Abu?" selidik Jainuddin.
"Di
mana-mana, Pak! Bapak bisa lihat postingan saya selama ini, kan?" Abu
Garuk balik bertanya.
"Rata-rata
di mana-mana ya, Pak Abu?" Seolah tak percaya Jainuddin bertanya lagi.
"Mereka
panik melihat banyaknya tokoh-tokoh, artis, pejabat, mulai dari menteri, kepala
daerah sampai kepala desa mendukung Bapak. Dari ujung Aceh sampai Madura,
sampai ujung Sorong. Jadi saya lihat semuanya mendukung dan berharap sama
Bapak. Itu yang saya lihat, Pak!" Abu Garuk menjelaskan dengan berapi-api.
Hening
sesaat....
"Jadi
begini, Pak! Kadang kita merasa gatal. Boleh saja digaruk sekadar dan pada
tempatnya. Gatal itu bisa menular, Pak! Jadi kalau menggaruk tidak pada
tempatnya, gatalnya bisa menjalar ke mana-mana, Pak! Dan harus kita ingat, sehebat-hebatnya
Superman, bila gatal dia menggaruk juga." Abu Garuk melanjutkan
penjelasannya.
"Jadi
saran Pak Abu, apa yang harus saya lakukan?" Jainuddin bertanya dengan
hati-hati.
"Bapak
harus jaga diri. Terutama, Bapak harus jaga omongan. Makin tinggi monyet
memanjat, makin terang pula bokongnya terlihat. Jadi kalau ada misalnya yang
berjanji membawa kita maju menuju era 4.0, tapi tak tahu beda upload dengan
download, pasti kita tahu. Dia sedang membual." Dengan gamblang Abu Garuk
memberikan petuahnya.
Sementara itu mata Jainuddin mulai berkaca-kaca. "Mungkin ada lagi pesan,
atau harapan-harapan dalam perjuangan kita?"
Panjang lebar kemudian Abu Garuk menyampaikan pandangannya. "Tapi kita kan
tahu, bahwa kadang-kadang mata kita ini tertipu. Saya pernah dapat nasi
bungkus, Pak! Saya pikir rendang, setelah digigit ternyata lengkuas. Jadi saya
masih berpikir, jangan-jangan saya juga tertipu sama Bapak.
Akhirnya saya datangi para pejabat yang saya yakini orang baik. Sebab orang
baik pasti dukung orang baik juga kan, Pak? Tapi setiap kali nama Pak Sono
disebut, selalu dia koreksi dan bisiki saya. 'Jainuddin,' katanya, Pak!
Dua
kali dia bisiki saya, Pak! Kalau satu kali saya masih belum yakin. Bisa jadi
saya salah dengar. Tapi sekali lagi dia bisikkan koreksinya ke telinga saya.
'Jainuddin,' katanya.
Saya
masih belum yakin kan, Pak! Di akhir pertemuan, sebelum pulang saya diajak ke
kamarnya. Dan di situ jelas-jelas dia mengatakan. 'Jainuddin,' katanya,
Pak!"
"Dia
bilang begitu?" Dengan terisak Jainuddin bertanya.
Entah
mendengar atau tidak, Abu Garuk terus melanjutkan. "Lama saya berpikir.
Setiap malam saya sulit tidur, kenapa dia begitu? Akhirnya saya berpikir bahwa
ini harus saya sampaikan. Seumur hidup, saya akan mati dalam penyesalan. Hai
Abu Garuk, kenapa tidak kau sampaikan?
Nah,
jadi setelah ini, selesai. Saya telah sampaikan. Plong. Malam ini saya bisa
tidur lelap."
Jainuddin
terlihat beberapa kali mengusap matanya yang berkaca-kaca.
Sementara Abu Garuk terus melanjutkan. "Fitnah tentu banyak. Kalau Bapak
nanti memang terpilih, terkait pribadi saya, dua saja. Pertama, tolong nanti
acara syukurannya, artis-artis Bollywood juga diundang. Kedua, minta Facebook
memulihkan akun saya!
"Saya
bukan orang kaya, Pak! Akun Facebook saya di-banned. Padahal itu sumber mata
pencarian saya. Saya hanya bisa kasih Bapak rantai sepeda. Dan karena nama
Bapak sudah harum, seperti kata Ucup Mankur, saya pikir Bapak tak butuh lagi
minyak wangi. Bapak lebih butuh oli kotor, agar rantai sepedanya awet dan tak
mudah putus lagi."
Jainuddin
menatapnya dengan banjir air mata.
Tamat.
***
NB: Repost dari akun lama yang hangus