Saya ini anak Pisces,
HAAAAH…?!!?!?!?! Konon kabarnya, pintar (: Asmara: berjodoh dengan Gemini yang
profesinya guru. Namanya Dian, wkwkwk…!
Oke, cukup ngawurnya.
Belakangan ini saya sedang punya masalah dengan namanya marah. Bukan marah yang
mudah dikendalikan, sebab marah yang ini cukup menantang dan menyebalkan. Saya
lebih suka jenis marah yang praktis-praktis saja, misalnya tonjok langsung
tanpa ba bi atau bu. Tapi karena saya orangnya lemah lembut (cieeeh…cieeehhh…),
saya lebih suka marah dengan gaya
yang lain. Tentu saja tetap praktis. Misalnya, memaki dengan kata yang kasar.
Ringkas saja. Cukup maki dengan kata-kata jorok yang tak perlu lah pula saya
tuliskan, bukan? Tapi karena saya orangnya juga sopan, maka saya pun memaki
dengan kreatif, tanpa kata-kata jorok. Misalnya saat saya memaki manejer saya
yang gila itu.
“Tak jentel, Kau”, saya
memaki sambil menunjuk-nunjuk ke arah jidatnya.
Praktis, tapi tetap sopan, kan? Praktis, karena cuma
itulah makian yang saya semburkan. Sopan, karena meski nadanya kasar tapi tak
ada kata-kata jorok yang saya keluarkan. Terhadap manejer yang telah melecehkan
saya itu saya bias memperjuangkan hargadiri tanpa perlu kehilangan control
diri.
Saya memang lebih kuasa
bersabar terhadap kejahatan ketimbang bersabar terhadap kebodohan. Karena
bahkan untuk marah terhadap yang bodoh kita juga mesti sabar. Inilah jenis
marah yang paling menantang dan sungguh sulit saya taklukkan. Marah terhadap
yang bodoh itu butuh kemampuan ekstra. Sambil marah kita juga butuh sabar.
Sabar dalam mempresentasikan kemarahan kita. Tak bisa praktis seperti biasanya.
Marahnya mesti lengkap. Kemarahan itu harus disertai dengan penjelasan yang
detil. Dalam situasi marah, kita juga butuh kesabaran dalam menjelaskan
kemarahan kita. Dan belakangan ini sudah beberapa kali saya alami. Terakhir
saya juga pernah posting cerita kemarahan saya terhadap seorang teman yang
(maaf) bodoh. Masalah buku, sudah pernah baca kan? Itu adalah kemarahan yang gagal saya
taklukkan karena kebodohannya. Bicara bodoh yang mestinya tak penting. Sudah
bodoh bicara tak penting pula. Sudah tak penting, ngotot pula.
Saya harap itu adalah marah
saya yang terakhir. Tapi lacur, berulang lagi. Jika kemaren soal buku, yang
sekarang juga soal buku lagi, hahaha…! Jika kemaren teman sekerja, sekarang
terhadap teman serumah. Sudah begitu, sama-sama bodoh pula. Sekali lagi Maaf,
bagi yang kurang berkenan atas pilihan kata saya. MAAF YAA, Pembaca…!
Saya sudah capek. Saya sudah
buang waktu dan energi demi kemarahan saya. Saya langgar kebiasaan gaya marah saya yang
praktis itu. Sambil marah saya jelaskan kemarahan saya dengan sabar. Begimana
tuh, caranya? Wkwkwkwk….! Cobalah pembaca bayangkan bagaimana sakitnya marah
terhadap orang yang tak paham substansi kemarahan kita. Itulah yang saya alami dengan
teman serumah saya itu.
Urut-urutannya begini…
Dia baca, ketiduran dan
hujan. Jendela yang lupa ditutup membuat air hujan merembes masuk. Permukaan
lantai yang mengkondisikan air tergenang membuat buku kesayangan saya terendam,
covernya copot dan bagian halaman isi keriting karena basah. Kisahnya lanjut di
post berikutnya saja, yaaaa…..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar