Dolar naik terus sama sekali tak ada pengaruhnya terhadap
yang taat pada hukum di atas. Yang tak punya dollar tetap bisa makan. Belanja
dan segala tetek bengek keperluan rumah tangganya. Orang-oang inilah yang taat
pada aturan bahwa ada uang ada barang.
Percaya kepada angka-angka yang disodorkan itu kesalahan
pertama. Yang dibeli itu mestinya kan
barang atau jasa. Wujudnya nyata, manfaatnya terasa. Jika yang dibeli cuma
sekadar angka-angka di bursa saham, itulah kekonyolan yang nyata. Kenapa
membayar untuk yang tak jelas wujudnya?
Percaya pada pengusaha itu kesalahan kedua. Apalagi orangnya
tidak kita kenali pula, itu kesalahan berikutnya. Bagi pengusaha intinya cuma
dua. Pertama: untung. Kedua: untung sebesar-besarnya. Buat pengusaha, uang
adalah segalanya. Aturan boleh ditabrak, selagi untungnya nampak. Tak ada
persaudaraan soal uang, begitulah prinsip pengusaha.
Membayar mimpi atau membeli janji. Padahal kita sendiri
paham betapa susahnya menepati janji? Mereka yang berkuasa saja sering tak
berkutik, jika kepadanya sudah diingatkan soal janji. Apalagi ini dijanjikan
oleh pengusaha yang sama sekali kita buta akan identitasnya.
Krisis ini menegur kita untuk mengembalikan uang pada
kodratnya, yakni sebagai alat pembayaran. Taat pada hukum, bahwa ada uang ada
barang. Siapa melanggar hukum, dialah yang dihukum.
Rakyat kecil mungkin buta hukum. Tapi mereka patuh terhadap
aturan. Mereka lebih suka belanja di pasar. Itulah proses ekonomi yang
menguatkan. Yang membeli dapat barang,
penjual dapat uang. Pembeli membeli, penjual nanti jadi pembeli kepada penjual
lainnya yang kemudian akan jadi pembeli bagi penjual lainnya lagi. Rantai
transaksinya bisa panjang sekali. Inilah transaksi yang menghidupkan.
Tegas terlihat bahwa krisis ekonomi hanyalah bagi mereka
yang suka membeli angka yang memang besar di atas kertas, tapi cuma di atas kertas.
Kita hidup di lapangan, bukan di atas kertas. Hidup di dunia fantasi memang
asyik. Karena fantasi itulah angka2nya terlihat menarik. Superman hebat di
dunia fiksi, tapi kedudukannya di dunia nyata cuma sebagai hiasan kolor
budak-budak kecil di kampung saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar