Halaman

11 Feb 2016

Most Inspiring 2015: Inspirasi Rossi


Sangat banyak sudah kita baca dan dengar kisah-kisah yang berkesan dan inspiratif. Tapi kisah paling inspiratif yang pernah saya saksikan langsung, walau via televisi adalah aksi Valentino Rossi di MotoGP seri terakhir di Valencia tahun lalu.

Saya bukanlah penggemar acara balap-balapan begitu. Apalagi melakukannya langsung. Bahkan seumur hidup, belum pernah rasanya saya menggeber motor lewat dari 70km/jam. Bayangkan saja, saya pernah bermotor sendirian start dari Padang jam setengah Sembilan pagi, sampai di Payakumbuh saja jam 5 sore, hahaha…!

Menonton acara balap, walau pernah itu juga cuma sesekali saja. Itupun karena ada teman yang jadi kontestan dan saya punya kesempatan nonton gratis bahkan bisa masuk paddock, kenapa mesti ditolak, kan? Hehe…!

Pun begitu dengan menonton di tivi. MotoGP dan juga Formula 1 bukanlah tergolong acara favorit saya. Tapi beda dengan seri terakhir musim 2014/2015 tersebut. Sangat penting untuk menyaksikan langsung kisah yang berpotensi mengguncangkan batin, bahkan meneteskan airmata haru. Dan benar-benar kejadian.

Dalam posis unggul 7 point Rossi sebetulnya tak perlu terlalu ngotot dalam membalap. Bahkan jika Lorenzo finish pertama sekalipun, Rossi cuma butuh finish ke-3, dan dia bakal jadi juara dunia. Atau bila Lorenzo finish ke-2, dia juga cukup finish ke 4 saja. Itulah kenapa Marques ngotot membalap dengan Pedrosa yang sangat cepat karena takut Pedrosa juga bakal menyalip Lorenzo, sedang Rossi sudah berada di belakang mereka bertiga.

Tapi itu dalam kondisi normal. Padahal situasi sedang tak normal. Rossi malah dihukum start dari grid paling belakang. Membayangkan mesti menyalip hampir seluruh pembalap saja itu begitu mengerikannya. Saking ngerinya, Rossi bahkan sempat putus asa, mogok ikut bertanding dan merelakan gelar juara yang sudah di depan jidatnya.

Diperlakukan dengan tidak adil itu nyaris mematahkan semangatnya. Tapi itulah hikmah dibalik peristiwa. Bersalah atau tidak, yang pasti dia sudah diperlakukan secarqa tidak adil. Ini ibarat seorang yang hobi kentut sembarangan dan diblacklist ikut acara makan-makan sebab berpotensi membuat pesta jadi tak bermutu. Simpati hadir mendukungnya. Fans dadakan tiba-tiba membludak jumlahnya. Lintas social, gender. Laki, perempuan, awam dan seleb, sipil dan politisi ikut bersuara menyemangatinya. Dan akhirnya kita tau betapa gagahnya Rossi berlaga. walau gelar juara gagal diraihnya.  Lorenzo memang juara, walau bahkan tak menyalip seorangpun. Tapi itulah juara tanpa lawan. Juara itu mesti menyalip, dan Rossi lah sang penyalip itu. Dan yang disalipnya pun bukan cuma seorang, tapi 26 pembalap. Artinya: Rossi 26 kali lebih hebat ketimbang Lorenzo.

Bahwa ada memang masalah yang tak mungkin dibereskan. Tapi tak mungkin dibereskan bukan berarti tak perlu dibereskan. Ada masalah yang bukan untuk diselesaikan, tapi tetap butuh diselesaikan. Itulah dia masalah dari jenis yang bertujuan sekedar menguji kekuatan mental dan kesabaran.  Kita cuma disuruh menyelesaikan walau tak mungkin selesai.

Menyaksikan perjuangan Rossi saat itu benar-benar mengharukan. Menonton aksinya saja rasanya bahkan belum cukup. Berkali-kali saya tonton tayangan ulangnya. Klik banyak link berita walau isinya begitu-begitu saja, tapi sungguh mampu merontokkan angkuhnya emosi lelaki saya. Membaca berulang-ulang artikel-artikel, testimony dan apresiasi orang-orang terhadap perjuangan seorang Rossi dengan mata yang berkunang-kunang menahan gengsi agar airnya tak sampai menetes, wkwkwkw….!

Kisah inspiratif memang selalu luar biasa. Saya tak pernah lagi berpikir, bahwa Rossi menendang Marques di sirkuit Sepang, seri sebelumnya yang membuatnya divonis start paling belakang itu. Orang sehebat Rossi boleh saja start dari mana saja. Orang istimewa seperti Rossi boleh dan sah berbuat apa saja. Margery boleh melakukan tindakan jahat apa saja terhadap Pat, sebab dia telah melakukan hal nekat demi menyelamatkan nyawa teman yang justru telah memfitnahnya. Setidaknya, begitulah kata Enid Blyton dalam salah satu serial novelnya, hahaha….!

Malam telah larut, penonton sudah lama bubar. Stadion nyaris telah kosong. Tapi ternyata pertandingan belum selesai. Dari jauh terlihat seorang pelari dengan berjinjit-jinjit menahan sakit berlari menuju garis finish. Beberapa orang yang masih di sekitaran stadion yang kebetulan mendengar pengumuman panitia bahwa ternyata masih ada peserta yang menuju garis finish kembali memasuki stadion. Stadion kembali bergemuruh. Semua bersorak menyemangati sang pelari terakhir tersebut. Tepuk tangan bergemuruh. Semua memberi standing aplaus. Apresiasi terhadap pelari paling lambat itu jauh melebihi pelari tercepat peraih medali emas di ajang Olimpiade tersebut.

“Kenapa tetap melanjutkan pertandingan? Cedera ini akan membuat anda lumpuh seumur hidup”, kata wartawan.

“Negara mengirim saya jauh-jauh bukan cuma untuk mengikuti pertandingan, tapi juga untuk menyelesaikannya”, jawabnya patriotik.

Dan walau akhirnya memang divonis lumpuh, negaranya menobatkannya sebagai Pahlawan. Dialah atlet marathon asal Tanzania bernama John Stephen Akhwari di Olimpiade tahun 1968 di Mexico. 

*Selamat Tahun Baru 2016. Baru punya kalender soalnya, wkwkwkw....!

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...